Beriman kepada Allah subhanhu wa ta’alaa adalah membenarkan dengan yakin akan adanya Allah subhanhu wa ta’alaa, membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya, kemudian juga membenarkan dengan yakin, bahwa Allah swt memiliki sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baru (makhluk). Sebuah pembenaran yang terealisir dalam hati, lisan, dan amal perbuatan.
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’alaa berarti meninggalkan segala bentuk penghambaan, bersandar, dan menyembah kepada selain Allah subhanahu wa ta’alaa. Segala bentuk aktivitas kehidupan, baik yang bersifat lahir maupun bathin, jasmaniah maupun ruhaniah, semuanya hanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah subhanhu wa ta’alaa, untuk mendapatkan ridho dan rahmat Allah subhanhu wa ta’alaa.
Adapun dalil-dalil yangberkenaan dengan iman kepada Allah subhanhu wa ta’alaa adalah sebagai berikut:
Firman Allah subhanahu wa ta’alaa:
“Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.” (QS. An Nisaa’ (4): 136
“Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 163.)
“Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah (2): 255.)
“Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr (59): 22-24 )
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” (QS. Al Ikhlash (112): 1-4)
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha (20): 14)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka bartakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun (23): 52)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya (21): 92)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak, binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al Anbiya’ (21): 22)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, Malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi…” (QS. Al Baqarah (59): 177)
Sabda RasululIah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Di antara sejumlah hadits-hadits tersebut, terdapat sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada qadar yang baik maupun buruk.”
“Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): ‘Saya telah beriman akan Allah’, kemudian berlaku luruslah kamu.” (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
“Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah.” (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
“Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka.” (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12)
Dalil wujud ALLAH
Yang pertama - Dalil atau burhan wujud Allah Taala. Iaitu adalah tanda ada Tuhan ialah baharu alam dan segala sifat-sifatnya. Karena bahawasanya jikalau tiada yang membahamkan alam ini seperti ada ia dengan sendiri nescaya lazim dua puluh perkara (ada dan tiada) yang bersamaan berat keduanya tiba-tiba terberat satu daripadanya dengan tiada yang memberatkan dia yang demikian mustahil.
Yang demikian nyatalah baharu alam ini jadi dalil atas wujud Tuhan karena ia tiada boleh jadi dengan sendiri oleh sebab pada masa ia belum ada maka adalah ada dan tiada itu bersamaan keduanya timbangan akal kita maka boleh tetap ada dan boleh tetap tiada.
Maka apabila tetap ada hilanglah tiadanya, tatkala itu kita ketahuilah adanya itu terlebih berat daripada tiada padahal tiada sah ada itu terberat daripada tiada dengan sendirinya. Yang demikian nyatalah ada suatu yang lain daripadanya pada memberatkan ada daripada tiada, karena mustahil terberat salah satu dua perkara yang bersamaan dengan tiada yang memberatkan dia.
Adapun yang dikatakan alam itu ialah jirim-jirim dan aradh-aradh maka jirim dan aradh itu baharu maka dengan mengetahui dalil baharu jirim dan aradh itulah menjadi dalil baharu alam yang jadi dalil wujud Allah Taala.
Maka dalil baharu jirim ialah karena ia melazimi akan aradh yang baharu (ini muqaddimah yang pertama), tiap-tiap yang melazimi yang baharu dihukumkan baharu (ini muqaddimah yang kedua), maka yang baharu tiada boleh ada dengan sendiri melainkan ada yang mengadakan (ini natijah) dan dalil baharu aradh itu nampak berubah-ubah daripada ada kepada tiada dan 'akasnya. Bagaimana boleh dipandang pada gerak diam yang ada pada seorang itu bila ia bergerak hilang diamnya. Demikian juga 'akasnya maka tiap-tiap berubah itu baharu.
Yang demikian nyatalah dalil wujud Tuhan itu bersusun atas tiga dalil:
1. Dalil menetapkan baharu alam
2. Dalil menetapkan baharu jirim
3. Dalil menetapkan baharu aradh.
Maka dalil atas wujud Tuhan:
Maka demi Tuhan yang menjadikan langit dan bumi bahawasanya ia sebenarnya seperti kamu bertutur-tutur. (Az Zariyat: 23)
Dalil Sifat Wujud
Kita akan memperkatakan tentang dalil wujudnya Allah SWT. Pengertian wujud dan lain-lain sifat yang wajib bagi Allah SWT telah pun kita huraikan dalam bab-bab terdahulu. Tetapi kita belum lagi menghuraikan tentang dalil wujudnya Allah dan dalil-dalil ke atas lain-lain sifat-Nya. Kalau ada pun dalil yang kita perkatakan, itu hanya sebagai pengenalan ringkas saja. Jadi mulai bab ini, kita akan memperkatakan dan memperbahaskan setiap dalil bagi sifat-sifat yang wajib pada Allah SWT bermula dari sifat wujudnya Allah SWT dan seterusnya.
Dengan itu, marilah kita beri tumpuan sungguh-sungguh agar apa yang kita pelajari ini akan menjadi aqidah dan pegangan kita, yang kemudiannya kita harap akan menjadi tindak-tanduk kita di dalam kehidupan sehari-hari karena setiap amalan lahir kita ini adalah didorong oleh rasa keyakinan kita terhadap Allah SWT. Makin kuat rasa tauhid kita kepada Allah SWT, makin menonjollah amal soleh yang dilakukan oleh anggota lahir kita ini. Tetapi sekiranya tauhid dan keyakinan kita kepada Allah lemah, maka lemah pulalah anggota lahir kita dalam bertindak melaksanakan arnal-amal soleh. Jadi, persoalan aqidah ini ada hubungannya dengan amal soleh yang kita lahirkan setiap hari.
Dalil Aqli
Dalil atau bukti yang menunjukkan wujudnya Allah SWT ialah baharunya alam ini ataupun adanya alam ini; adanya langit dan bumi ini, adanya makhluk-makhluk yang bertaburan di bumi termasuklah kita.
Tidak mungkin alam dan seluruh yang ada ini terjadi dengan sendiri. Coba kita kembali kepada hukum akal. Kita rujuk kepada penerimaan akal kita ketika alam ini belum terjadi. Kalaulah alam ini terjadi dengan sendirinya, tentulah pada awal-awal dulu alam ini belum ada.
Maka di waktu alam ini belum ada ataupun belum terjadi, pertimbangan akan ada ataupun tiadanya alam ini, kedudukannya adalah sama berat. Artinya, akal kita akan mengatakan bahawa semasa alam ini belum ada, di antara ada atau tiadanya alam di waktu itu adalah sama timbang. Begitulah akal kita akan berkata.
Tiba-tiba alam ini ada atau terjadi di hadapan mata kita dan kita pula dapat menyaksikan ia tersergam di hadapan kita. Maka ketika itu, pertimbangan akal menjadi tidak sama berat lagi. Kali ini, adanya alam sudah menjadi lebih berat. Kalau sebelum ini antara ada dengan tiadanya alam ini adalah sama berat tetapi apabila alam sudah ada ataupun sudah terjadi, akal kita akan memberikan pertimbangan berat sebelah. Adanya alam ini telah berat daripada tiada.
Sekarang, mari kita rujuk kembali kepada hukum akal kita, apakah mahu akal kita menerima keadaan yang membawa kepada pertimbangan berat sebelah ini boleh terjadi dengan sendirinya. Yaitu pada asalnya akal kita menimbangkan antara ada dengan tiadanya alam ini sama berat, tetapi tiba-tiba akal kita lebih berat mengatakan alam ini ada karena memangnya alam ini sudah ada, dan tiadanya pula tidak dapat akal kita nafikan. Bila akal kita lebih berat ke- pada mengatakan alam ini ada itu terjadi dengan sendirinya, apakah akal kita mahu menerima hal ini tidak ada siapa yang memberatkannya. Sekali-kali akal tidak mahu menerimanya.
Tetapi akal mahu menerima bahawa tentu ada yang memberatkan. Artinya, alam ini mesti ada yang menjadikan. Mustahil alam ini ada dengan sendirinya. Bila kita katakan mustahil di sini, hendaklah kita rujuk juga kepada takrif mustahil mengikut hukum akal. Mustahil mengikut hukum akal ialah, sesuatu perkara itu tidak mahu diterima oleh akal akan adanya.
Dalam hal ini, mustahil akal mahu menerima yang beratnya pertimbangan akal kepada adanya alam ini adalah terjadi dengan sendirinya apabila alam ini sudah ada. Sedangkan sebelum ini, pertimbangan antara ada dengan tiadanya alam ini adalah sama berat. Tiba-tiba apabila alam ini ada, pertimbangan itu lebih berat kepada adanya alam. Mustahil pertimbangan berat sebelah itu terjadi dengan sendirinya. Mesti ada yang memberatkannya. Ertinya mesti ada yang menjadikan alam ini. Itulab Allah SWT.
Allah SWT-lah yang menjadikan alam ini. Allah SWT sebagai Kholiqul Alam. Dan dengan itu, adanya alam ini adalah sebagai dalil atau bukti akan wujud atau adanya Allah SWT.
Sebagai satu tamsil untuk membantu kita memahami perbahasan ini, coba kita perhatikan dua ceper dacing atau neraca. Sebelum membuat apa-apa timbangan, kita lihat bahawa kedua-dua ceper itu sama berat atau sama timbangan. Tiba-tiba, katalah salah satu daripada cepemya, sebelah kiri atau sebelah kanan, menjadi berat. Apakah akal kita akan mengatakan bahawa berat sebelah itu terjadi dengan sendiri iaitu ceper itu memberatkan dirinya sendiri. Mustahil akal kita mahu menerimanya. Tetapi tentu akal kita akan berkata, bahawa beratnya itu adalah disebabkan oleh sesuatu. Boleh jadi sesuatu itu yang kita nampak ataupun tidak, seperti boleh jadi angin bertiup hingga menyebabkan ceper itu berat sebelah atau sebagainya.
Begitu juga kita ambil satu tamsil yang lain. Katalah ada satu kawasan tanah lapang yang amat biasa kita kunjungi. Biasanya setiap kali kita pergi ke situ, tidak ada apa-apa di sana kecuali sedikit tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan sebagainya. Kemudian setelah beberapa ketika yang agak lama kita tidak ke sana, manakala kita pergi semula ke tempat itu, kita dapati ada sebuah rumah terdiri di atas tanah lapang itu. Apakah ketika itu, akal kita akan berkata yang rumah itu tertegak dengan sendirinya. Tentu sekali akal kita tidak akan berkata demikian, walaupun katalah ada orang yang mengatakan kepada kita bahawa rumah itu tertegak dengan sendirinya, namun akal kita tidak mahu menerimanya.
Mustahil rumah itu boleh tertegak dengan sendiri tetapi tentu ada orang yang mendirikannya atau membuatnya. Cuma kita tidak tahu siapa orangnya. Boleh jadi orang yang duduk di sekitar tanah lapang itu ataupun orang-orang dari tempat lain.
Dua tamsil telah kita bawakan untuk menghujah hukum akal. Yang pertama tadi, mustahil akal mahu menerima satu ceper neraca menjadi berat dengan sendirinya sedangkan pada mula-mulanya dua-dua ceper neraca itu sama berat. Yang kedua, mustahil sebuah rumah tertegak dengan sendirinya di satu kawasan tanah lapang sedangkan pada mulamulanya memang kita tahu tidak ada sebuah rumah pun di situ. Daripada dua tamsil tadi, kita dapati yang akal kita tidak mahu menerima keadaan yang membuatkan ceper dacing berat sebelah atau adanya rumah di satu tanah lapang, kedua-duanya terjadi dengan sendiri.
Sedangkan daripada dua tamsil yang begitu mudah pun, akal kita tidak mahu menerimanya, betapalah kejadian alam, langit dan bumi serta bukit-bukaunya yang tersergam, kayukayannya yang menghijau serta makhluk-makhluk yang bertaburan di bumi ini boleh terjadi dengan sendiri. Lebih-lebih lagilah akal kita tidak mahu menerimanya. Mustahil sekali akal kita mahu mengatakan bahawa alam ini dan seluruh isinya terjadi dengan sendiri sedangkan ceper neraca yang mula-mulanya sama berat tiba-tiba menjadi berat sebelah itu pun akal kita tidak mahu mengatakan yang ia terjadi dengan sendiri. Kalau begitu tentu ada yang menjadikan alam ini, dan akal kita juga menyetujuinya. Dan itulah Tuhan pencipta alam.
Allah SWT itulah yang menjadikan alam ini, dan kalau Allah tidak menjadikannya, maka tidak akan terjadilah alam ini. Tetapi oleh karena ia telah pun terjadi dan dapat pula kita lihat tersergam di hadapan mata kita ini, maka itulah tanda dan bukti wujudnya Allah SWT. karena, alam ini Allah saja yang menjadikannya. Tidak ada sesiapa pun yang pernah mengaku menjadikan alam ini hatta pakar-pakar sains dari Barat dan Timur sekalipun. Kalaulah ada orang yang mengaku yang dia menjadikan alam ini, nanti orang lain akan mengatakan dia itu bodoh.
Pengertian Alam
Di samping itu, elok jugalah kita fahamkan tentang pengertian alam yang ianya menjadi dalil tentang wujudnya Tuhan. Alam ini adalah gabungan antara jirim dan 'aradh. Jirim pula ialah sesuatu yang mengambil lapang atau yang mengisi ruang. Kalau mengikut istilah sains, jirim itu ialah sesuatu yang mengisi ruang sama ada ianya berbentuk pepejal, cecair atau gas. Jadi berdasarkan pengertian jirim ini, diri kita adalah jirim karena ia mengambil lapang.
Kemudian, 'aradh pula ialah sifat-sifat yang mendatang di atas jirim. Ia boleh kita lihat tetapi tidak dapat kira rasa. Tidak seperti jirim yang boleh kita lihat dan boleh kita rasa. Jadi, 'aradh itu adalah sifat dan ia adalah berdiri pada jirim. Dalam ertikata yang lain, 'aradh atau sifat memerlukan jirim sebagai tempat berdiri. Ia tidak boleh berdiri dengan sendirinya. karena itu, 'aradh dan jirim tidak boleh dipisahkan.
Kita contohkan diri kita ini sebagai alam karena pada diri kita ini ada jirim dan ada 'aradh iaitu sifat-sifat yang mendatang. Diri kita ini jirim karena ia mengambil lapang. Dikatakan 'aradh pada diri kita karena ada padanya sifat gerak dan diam yang merupakan sifat yang mendatang pada diri kita.
Seterusnya, jirim dan 'aradh sifatnya baharu atau dijadikan, karena Allah yang membaharu atau menjadikannya. Dengan kita mengetahui dalil-dalil atau bukti tentang baharunya jirim dan 'aradh, maka itu jugalah dalil-dalil dan bukti tentang baharunya alam ini. Kemudian, dengan kita mengetahui dalil-dalil dan bukti tentang baharunya alam ini, itu jugalah yang menjadi dalil dan bukti tentang wujudnya Allah SWT.
Dalil dan 'bukti yang menunjukkan bahawa jirim ini baharu ialah ia sentiasa melazimi sifat yang baharu. Pada jirim itu sentiasa berlaku sifat yang baharu. Dan di antara sifat yang baharu yang berlaku pada jirim ialah sifat gerak dan sifat diam. Manakala jirim itu bergerak, maka hilanglah keadaan diamnya. Dan manakala jirim itu dalam keadaan diam, hilang pula keadaan geraknya. Begitulah seterusnya yang berlaku pada jirim; keadaan gerak dan diam itu silih berganti dalam ertikata hilang diam, timbul gerak dan apabila hilang gerak, timbul pula diam. Satu-satu keadaan itu tidak pemah kekal, bahkan keadaan gerak dan diam itu pula tidak boleh berlaku serentak.
karena adanya jirim-jirim melazimi sifat-sifat 'aradh yang baharu demikian, maka sebab itulah jirim-jirim bersifat baharu. Tidak ada 'aradh yang bersifat kekal pada jirim melainkan semuanya baharu. Umpamanya, gerak yang terjadi selepas diam bukanlah gerak yang mula-mula tetapi adalah satu gerak yang baharu. Seperti, mula-mula kita gerak dan kemudian kita diam kembali. Lepas itu kita gerak semula. Gerak yang berlaku itu bukanlah gerak yang asal tadi. Ia sudah menjadi satu gerak yang baharu. Gerak yang asal tadi sudah musnah atau hilang. karena itu kita katakan bahawa 'aradh yang berlaku pada jirim itu musnah atau hilang. Dan kita katakan juga bahawa 'aradh yang berlaku pada jirim adalah baharu. Dan oleh karena 'aradh itu sifatnya baharu yakni tidak kekal, maka jirim juga adalah baharu disebabkan 'aradh itu berlaku pada jirim.
Setiap benda yang melazimi sesuatu yang baharu, maka benda itu hukumnya baharu. Dan karena jirim itu melazimi 'aradh yang baharu, maka jirim itu adalah baharu kedudukannya. Tadi telah kita bahaskan bahawa alam itu adalah gabungan antara jirim dan 'aradh. Dan oleh karena 'aradh dan jirim itu baharu, maka alam juga hukumnya baharu. Ini muqaddimah yang pertama.
Karena telah kita katakan bahawa tiap-tiap sesuatu itu, disebabkan ia melazimi 'aradh yang baharu, ia juga terhukum sebagai baharu, maka itu kita namakan muqaddimah yang kedua.
Kemudian, setiap yang baharu itu tentu ada yang membaharukan atau yang menjadikan. Inilah yang dinamakan natijahnya. Dan yang membaharukan atau yang menjadikan jirim dan 'aradh itu ialah Allah SWT. Lantaran itu yang menjadikan alam ini ialah Allah SWT. Karena alam itu adalah gabungan di antara jirim dan 'aradh. Dengan demikian alam ini adalah dalil atau bukti yang menunjukkan wujudnya Allah SWT itu.
Tiga Yang Menetapkan Baharunya Alam
Kalau begitu dalil yang menunjukkan wujudnya Tuhan adalah tersusun daripada tiga perkara. Yang pertama, ia tersusun dari dalil yang menetapkan baharunya alam. Yang kedua, ia tersusun dari dalil yang menetapkan bahanmya jirim. Dan yang ketiga ialah dalil yang menetapkan baharunya 'aradh.
Inilah tiga dalil yang membuktikan bahawa wujudnya Tuhan adalah tersusun daripada tiga perkara. Yang pertama, ia tersusun dari dalil yang menetapkan baharunya alam. Yang kedua, ia tersusun dari dalil yang menetapkan baharunya jirim. Dan yang ketiga ialah dalil yang menetapkan baharunya 'aradh
Inilah tiga yang menetapkan baharunya alam, dalil menetapkan baharunya jirim dan dalil menetapkan baharunya 'aradh. Dalil baharunya alam ialah dari perbahasan kita tentang keadaan alam ini sebelum ia ada atau sebelum ia terjadi. Sebelum terjadinya itu, pertimbangan akal di antara ada dengan tiadanya adalah sama berat. Tiba-tiba alam ini sudah ada ataupun sudah terjadi. Yang demikian pertimbangan di antara ada dengan tiada sudah berat sebelah kepada ada. Ketika itu akal mahu menerima adanya alam daripada fiada. Dan yang memberatkan kepada ada itu tentulah bukan terjadi dengan sendiri. Tentulah ada yang menjadikannya. Maka ini dalil menunjukkan baharunya alam ini karena ia ada yang menjadikan.
Manakala dalil baharunya jirim pula adalah bahawa jirim sentiasa melazimi sifat yang baharu. Setiap benda yang melazimi sesuatu yang baharu, maka benda itu dihukum baharu juga. Dengan sebab itu, jirim adalah baharu.
Kemudian dalil yang menunjukkan bahawa 'aradh itu baharu adalah karena ia mempunyai sifat-sifat yang sentiasa berubah-ubah seperti sifat gerak dan diam. Sedangkan tiaptiap yang berubah itu menunjukkan baharu. Maka itu, 'aradh juga baharu.
Demikianlah dalil-dalil yang menunjukkan wujudnya Allah SWT karena dengan baharunya alam, jirim dan 'aradh tadi, maka tentulah ada yang membaharukannya. Dan yang membaharukannya ialah ALLAH SWT Dalil-dalil demikian, kita namakan dalil aqli iaitu dalil melalui akal fikiran. Atau dalil yang dihasilkan daripada perbahasan akal fikiran.
Dalil Naqli Wujudnya Tuhan
Manakala dalil naqli atau dalil yang bersumberkan Al Quran yang menunjukkan wujudnya Tuhan, ia terkandung di dalam surah Az Zariyat ayat 23:
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (Az Zariyat: 23)
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar akan terjadi seperti perkataan yang kamu ucapkan.
Di sini Allah menegaskan betapa setiap kejadian itu adalah benar-benar terjadi seumpama kita berkata-kata. Kita telah dapat melihat dan menyaksikan yang kita ini berkatakata. Orang lain juga dapat menyaksikan bahawa kita ini memang berkata-kata. Oleh yang demikian, sepertimana yakinnya kita yang kita ini boleh berkata-kata selama ini, begitulah yakinnya kita akan wujudnya Allah SWT itu.
Demikianlah yang dapat kita fahamkan daripada perbahasan terhadap dalil-dalil yang menunjukkan wujudnya Allah SWT. Di sinilah kita perhatikan betapa ulamaulama zaman dahulu membuat satu-satu tamsil itu dengan cara-cara yang cukup mudah karena mereka berhadapan dengan kategori manusia yang kebanyakannya tidak tahu menulis dan tidak tahu membaca. Mereka terpaksa mengajar dan mendidik umat Islam dengan cara yang mudah dan dengan jalan yang boleh difahami oleh semua orang. Kadang-kadang seorang ulama itu memberi pengajaran semasa dia sedang berjalan-jalan bersama anak-anak muridnya.
Katalah dia temampak seketul tahi unta misalnya. Dia pun spontan bertanya kepada anak murid tentang apakah tahi unta itu terjadi dengan sendirinya. Lagipun ketika itu tidak ada siapa pun yang melihat unta berada di situ. Bagaimana pula boleh tahinya terjadi. Tentulah ia terjadi dengan sendiri. Namun, anak muridnya yang walaupun lemah dari segi fikiranpasti akan menjawab yang mustahil tahi unta itu boleh terjadi dengan sendiri.. Mesti ada unta yang telah melepaskan najisnya di situ. Daripada situ, ulama tadi akan mengaitkannya dengan kejadian alam ini.
Dia nanti akan berkata yang alam ini sudah terjadi sedangkan kita tidak pun menyaksikan ketika mula ia dijadikan. Namun alam ini sudah berada di depan mata kita. Apakah ia boleh terjadi dengan sendiri? Tentulah ia juga ada yang menjadikan Dan yang menjadikan itu Allah SWT. Karena itu, apakah ada di antara orang yang tidak mahu percaya akan adanya Tuhan? Mendengar hujah-hujah yang mudah seperti ini, kalau ada di antara pengikut ulama itu yang belum percaya kepada Tuhan, dia terus mempercayai- Nya dan minta di-Islamkan ketika itu. Sebagaimana pemah berlaku dalam satu peristiwa peperangan antara pasukan Ibn Arrabi, seorang pejuang Islam, dengan penjajah Perancis di Mesir. Di dalam peperangan itu ramailah yang terkorban dan ramai juga yang cedera. Ada di antaranya dapat diselamatkan dan ada di antaranya terbiar begitu saja karena keadaan perang itu begitu buruk sekali.
Pendek kata, mana yang tidak dapat diseiamatkan akan mati terbiar seorang diri tanpa mendapat rawatan dan makanan. Manakala yang mati itu pula, ada yang dapat dicari untuk dikebumikan dan ada juga yang tidak ditemui hingga menjadi busuk terbiar. Begitulah keadaannya bila sudah berlaku peperangan.
Dalam keadaan itulah seorang tentera Perancis yang telah mendapat cedera merangkak seorang diri untuk mendapatkan pertolongan tetapi tidak ada siapa pun yang menyedarinya. Akhimya dia terlantar di tepi sebuah gua yang di dalamnya ada seorang abid (ahli ibadah) sedang beribadah.
Apabila abid itu temampak akan askar yang cedera itu, dia pun membawanya ke dalam gua dan memberinya ubat serta diberinya makan dan minum. Memang abid atau ahli ibadah adalah orang yang telah terdidik akhlaknya. Sebab itu belas kasihan dan peri kemanusiaannya begitu tinggi sekali hingga tidak memikirkan sama ada seseorang itu kafir ataupun Islam. Dia tetap memberikan pertolongan dan bantuannya;
Atas dasar ini, si abid memberi rawatan kepada askar Perancis yang cedera itu setiap hari di samping memberinya makan dan minum hinggalah segala luka tentera itu sembuh dan dia menjadi sihat kembali seperti biasa. Dari sehari ke sehari, pergaulan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan semakin erat. Mulalah terjalin rasa kasih sayang dan ukhuwah yang amat mendalam. Ini telah menyebabkan askar Perancis itu tidak bemiat hendak pulang ke tanahairnya.
Dalam pergaulannya sehari-hari dengan abid itu, tentera Perancis ini begitu hairan melihat sikap dan peribadi si abid. Dia mendapati yang abid itu sentiasa berkeadaan tenang, dan cahaya mukanya sentiasa manis. Tidak pemah dilihatnya abid itu berkerut muka atau mengeluh serta mengalami susah hati. Sedangkan diperhatikannya abid itu sudah tua, tinggal pula di dalam' gua dengan pakaian pun ala kadar sahaja. Kemudian dilihatnya, orang tua itu kadang-kadang makan dan kadang-kadang sepanjang hari dia tidak makan. Tentulah abid itu berpuasa tetapi tentera Perancis itu tidak tahu-menahu tentang hal puasa. Al maklum, dia seorang kafir dan tidak pula mempunyai sebarang agama - bebas. Askar Perancis itu hairan, apakah rahsia yang menyebabkan abid itu demikian. Walhal dia sendiri sentiasa bersedih dan kadang-kadang ditimpa keresahan dan kegelisahan walaupun fizikal lahirnya masih gagah, lebih-lebih lagi dia seorang askar yang setiap masa menjaga kesihatan badan melalui latihan-latihan fizikal. Kemudian, makan minum semua cukup, pendapatan juga cukup serta ada pula rumah tempat tinggal, tidak seperti orang itu yang hanya tinggal di dalam gua.
Suatu hari dia pun bertanya kepada orang tua itu: "Wahai bapak, saya lihat bapak ini begitu tenang dalam' kehidupan ini. Bapak tidak pemah berkerut muka malah bapak sentiasa senyum gembira. Bapak tidak pernah marah* marah walaupun keadaan saya ini seperti mengganggu bapak. Saya lihat bapak tidak pernah susah hati walaupun keadaan hidup bapak begini. Apakah rahsia bapak yang menyebabkan bapak hidup demikian?"
Orang tua itu sedikit pun tidak menjawab persoalan askar Perancis itu dan tidak pula dia mahu berhujah apa-apa dengannya. Dia mahu mencari suatu ketika yang sesuai untuk menjawabnya. Jadi, dia pun berkata, "Beginilah, wahai anak. Marilah kita pergi berjalan-jalan di kawasan luar sana melihat-lihat keadaan sekitar ini."
Askar itu agak pelik juga karena perkara yang dia ingin tahu tidak berjawab tetapi lain pula yang dilakukan oleh abid itu. Namun dia menyetujui cadangan orang tua itu dan pergilah mereka berdua berjalan-jalan di kawasan sekitar itu dengan membawa sedikit bekalan makanan dan minuman, kalau-kalau perjalanan mereka memakan masa.
Dalam mereka .berjalan-jalan itu, akhirnya sampailah mereka ke persekitaran sebuah bukit yang di situ terdapat juga pohon-pohon kecil dan rumput-rumput semak. Tiba-tiba askar Perancis ini temampak akan kesan-kesan tapak kaki harimau lantas dia pun berkata kepada orang itu, "Wahai bapak, saya msa elok saja kita berpatah balik."
Orang tua itu sudah dapat mengagak sesuatu karena dia juga telah temampak kesan tapak kaki harimau itu. Cuma, dia pura-pura tidak nampak. Lalu dia pun menjawab: "Mengapa pulak kita mesti berpatah balik wahai anak?"
"Merbahaya, bapak," jawab askar itu.
"Apa yang membahayakan?" tanya orang tua itu.
"Saya lihat di sini ada kesan tapak kaki harimau. Tentu ada harimau di sini," balas askar Perancis itu.
"Kalaulah begitu, saya pun takut juga. Marilah kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini," jawab orang tua itu sambil mengajak askar itu berjalan pulang.
Mereka berdua pun berjalanlah menuju balik ke gua tempat mereka tinggal sehingga telah jauh tempat yang dikira merbahaya tadi telah ditinggalkan dan keadaan askar Perancis itu pun sudah tenang kembali. Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Saya nampak anak tadi betul-betul takut kepada harimau. Yakin sungguh anak ni yang di tempat itu ada harimau."
"Memang saya sungguh yakin, bapak. Lagipun tapak kakinya masih baharu lagi," jawab askar Perancis itu.
"Anak sungguh yakin akan adanya harimau walaupun hanya melihat kesan tapak kakinya sahaja?" tanya orang tua itu.
"Bagaimana saya tidak yakin karena apabila ada kesan tapak kakinya, maka adalah dia di situ," jawabnya.
Kali ini sampailah masanya orang tua itu hendak menjawab pertanyaan askar tadi kepadanya. Dia pun terus berkata,
"Wahai anak, bapak amat percaya cakap-cakap anak itu. Bapak juga percaya yang oleh karena ada kesan tapak kaki harimau di situ, maka adalah harimaunya walaupun kita tidak nampak dia berada di situ. Jadi, kalaulah hanya dengan melihat kesan tapak kaki harimau, anak yakin adanya harimau di situ, betapalah dengan alam yang tersergam luas ini. Ada pokok-pokok, ada bukit-bukaunya, ada makhlukmakhluknya, ada langit dan bumi serta lautan yang luas dan sebagainya. Apakah dengan kesan-kesan itu semua, anak tidak yakin bahawa adanya Maha Pencipta yang menjadikannya?"
Di sini, orang tua itu telah memukul keyakinan askar Perancis tadi yang mana dia tidak mempercayai Tuhan hinggakan dia tidak mahu berpegang kepada sebarang agama. Orang tua tadi membiarkan pertanyaannya bermain di kepala askar itu hingga beberapa ketika. Setelah didapatinya yang askar itu tidak menjawab apa-apa, maka orang ma itu pun meneruskan percakapannya.
"Sebenarnya, yang menyebabkan bapak sentiasa tenang dan terhibur, tidak pernah masarn muka dan marah-marah walaupun keadaan bapak begini adalah karena bapak sentiasa berdamping dengan Tuhan bapak, Pencipta alam semesta ini. Bapak datang duduk dalam gua sana adalah karena bapak hendak menyembab Tuhan bapak."
Itulah jawapan ringkas dari orang tua itu hingga menyebabkan askar Perancis itu tidak mampu berkata apa-apa. Begitu tepat sekali jawapan abid itu hingga tertikam ke dalam hati sanubari askar itu. Tiba-tiba, dia berkata:
"Rupa-rupanya inilah rahsia hidup bapak yang saya tidak dapat mengalaminya. Tolonglah Islamkan saya agar saya juga dapat menghubungkan diri saya dengan Tuhan."
Begitulah bijaksana dan berhikmahnya orang-orang zaman dahulu. Setiap satu persoalan itu bukan diselesaikan melalui hujah-hujah atau soal jawab hingga membawa kepada pertengkaran. Kita dapati mereka itu mendidik manusia dengan penuh sabar. Dengan itu, barulah kita dapat memikat hati manusia hingga mereka tertarik kepada ajaran kebenaran.
Dan daripada cerita yang kita gambarkan di atas juga, jelas kepada kita betapa alam ini menjadi dalil dan bukti tentang wujudnya Allah SWT. Alam ini tidak terjadi dengan sendirinya, dan mustahil akal mahu menerima yang alam ini terjadi dengan sendiri, tetapi mesti ada yang menjadikannya. Itulah Allah SWT.
Dengan ini juga, kita sudah mempunyai dalil-dalil dan bukti tentang wujudnya ALLAH SWT sekurang-kurangnya dalil aqli atau dalil akal secara ijmali atau secara ringkas. Dan dalil ini adalah dikehendaki untuk mengeluarkan kita daripada alam taqlid yang mempercayai adanya Tuhan tetapi tidak tahu dalil-dalilnya.
Mengetahui dalil-dalil aqli secara ijmali ini amat penting dan ia merupakan suatu wajib ain (fardhu ain) kepada setiap mukallaf. Semua orang mesti mempunyai dalil-dalil akal yang ringkas ini untuk membuktikan wujudnya Tuhan karena keyakinan secara bertaqlid tanpa kita sendiri dapat memberi dalil-dalil dan bukti-bukti, adalah keyakinan yang tidak sah.
Mengetahui dalil-dalil naqli atau dalil-dalil yang bersumberkan Al Quran secara tafsili atau secara terperinci itu fardhu kifayah.
Dan dengan ini juga perlulah kita memahami benarbenar persoalan-persoalan di dalam ilmu tauhid ini karena ia merupakan penetapan aqidah atau keyakinan kita. Aqidah atau keyakinan kita yang sebenarnya kepada Allah adalah yang terpokok karena ia menjadi asas di dalam ajaran Islam. Kalau aqidah sudah terseleweng atau terkeluar daripada kebenaran, maka cacatlah segala amal lahir kita. Seluruh ibadah kita, sembahyang dan puasa kita, haji kita dan lainlainnya, tidak berguna lagi. Sebab itulah, persoalan aqidah ini hendaklah kita pelajari sungguh-sungguh.
"Awal-awal agama adalah mengenal Allah." Inilah yang menjadi asas ajaran kita. Apabila kita mati kelak, yang awal-awal sekali ditanya kepada kita ialah persoalan tauhid atau persoalan iman. Amal-amal lain tidak ditanya lebih dahulu. Sekiranya yang asas ini sudah terkeluar, maka yang lain-lain itu tidak ditanya lagi. Semua ibadah lain sudah cacat walaupun sembahyangnya kemas, puasanya hebat, naik hajinya banyak, gigih berjuang dan berjihad dan lainlainnya. Sebab itu Rasulullah .pernah berkata dalam sabdanya yang bermaksud:
Hendaklah kamu mempelajari hujah-hujah kamu karena kamu akan ditanya.
Maksud Rasulullah di sini ialah supaya kita mengenal Allah dengan sesungguh-sungguhnya berserta dalil-dalil dan bukti, setidak-tidaknya dalil aqli secara ijmali supaya pengenalan kita kepada Allah itu tepat dan padu. Bukan secara ikut-ikutan atau secara taqlid.
Banyak orang yang tidak percaya kepada Allah, karena tidak bisa melihat Allah dengan mata kepalanya. Jadi Allah dianggap tidak ada karena tidak bisa dibuktikan dengan mata atau pancaindra.
Padahal kalau mereka jujur, berfikir yang lurus dan melihat dengan sungguh-sungguh, banyak sekali hal-hal yang ada disekitar mereka bahkan ada pada dirinya yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, tetapi tetap diyakini ada umpamanya nyawa pada dirinya, dan hawa yang selalu dihisap untuk bernafas sepanjang hidupnya.
Diluar dirinya banyak sekali hal-hal yang ada, tetapi tidak bisa dilihat dengan mata, umpamanya daya tarik magnit, arus listrik, gelombang radio atau sinyal, daya tarik bumi dan lain-lain.
Jadi, kalau mau percaya, tetapi harus melihat dulu, tidak benar, tersesat, bahkan bisa salah.
Untuk mempercayai adanya Allah, bisa dibuktikan dengan banyak cara umpamanya:
Dalil Naqli, yaitu berita dari Allah sendiri tentang wujud-Nya, bahkan juga diterangkan oleh Rasulullah SAW sebagai utusan-Nya (Al-Qur’an dan Hadist). Artinya: 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Surat al-Ikhlas ayat 1-4.
Dalil Aqly, yaitu kebenaran berdasarkan pemikiran contohnya, 1 + 2 = 3, kalau tidak bergerak pasti diam, apa saja yang ada, pasti ada yang mengadakan.
Dalil Kaun, yaitu dengan melihat ciptaan yang ada di jagad ini. Adanya bumi pasti ada yang mengadakan. Bumi berotari, bergerak pasti ada yang menggerakan. Adanya peraturan siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau pasti ada yang mengatur. Yang mengadakan, yang menggerakan, yang mengatur, itulah Allah SWT.
Dalil Fithroh, yaitu kemampuan setiap orang yang terdapat pada dirinya tanpa belajar dari siapapun, contohnya, menangis dan tertawa, rasa kenyang, lapar dan haus, sakit dan enak dan lain-lain. kesemuanya menunjukan ada yang menetapkan dan menghendaki, yaitu Allah bukan dirinya, karena sudah ada sejak lahir.
Dari sekian banyak dalil, membuktikan bahwa Allah itu ada, tidak usah diragukan, masuk akal dan pikiran. Jadi Allah itu ada, dan yang mengadakan semua makhluk termasuk manusia. Maka manusia harus menuruti Penciptanya (Allah SWT).
Namun demikian, manusia tidak diperbolehkan untuk selalu memikirkan hakikat Dzat Allah, karena tidak akan bisa mencapainya, karena keterbatasan makhluk dan tidak akan menyamai kholiq dalam segala hal. Manusia supaya memikirkan apa saja yang diciptakan-Nya, untuk diambil manfaatnya sesuai dengan petunjukn-Nya demi kebaikannya. ingat, nasehat Rasulullah SAW: Artinya: Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan memikirkan hakikat Dzat Allah, karena engkau tidak akan bisa mengira-ngiraka-Nya ( H.R Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar