Rabu, 17 April 2013

Tgk. H. Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdady


Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.


Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong "unik" karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.


Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).


Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.


Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya "tangan-tangan jahil" yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.


Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.


Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.


Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.


Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.


Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda.


Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: "The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar" di bawah Label: Unpublished Conference Articles).



Dayah Teungku Chik Tanon Abee Tertua Se - Asia Tenggara

Aceh Besar-Dayah (Pesantren) Teungku Chik Tanoh Abee, yang terletak di Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, adalah salah satu pesantren tertua yang ada di Wilayah Asia Tenggara. Dayah ini didirikan pada masa Kesultanan Iskandar Muda, tepatnya pada tahun 1625 M.

Dayah yang hingga kini masih bernuansa tradisional ini didirikan pada masa Khalifah Utsmaniayah, oleh seorang ulama asal Bagdad yang bernama Fairus Al Bagdady. Saat itu, ulama asal negeri yang sering disebut Negeri seribu satu malam ini, hijrah ke Aceh menyebarkan agama Islam bersama tujuh orang saudaranya.

“Dayah ini didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda meminpin kerajaaan Aceh,” sebut Tgk Ridwan Tanoh Abee, Wakil Pimpinan dayah Tgk Chik Tanoh Abee, Jumat (20/9) malam, di rumahnya yang berada di Komplek dayah tersebut.

Semula, dayah Teungku Chik Tanoh Abee didirikan hanya berupa surau kecil di Data Sigeupoh, sekitar 4 kilo meter dari lokasi dayah Teungku Chik Tanoh Abee saat ini.
Di tempat tersebut, selain digunakan sebagai tempat menyebarkan ilmu agama, juga dijadikan sebagai tempat eksekusi hukuman cambuk bagi masyarakat yang melanggar ketentuan Syariat Islam di masa itu.

Seiring berjalannya waktu, dayah yang semula berada di Data Sigeupoh akhirnya dipindahkan ke kawasan perkampungan warga. “Di tempat pertama didirikan tidak ada sumber air. Dan dipindahkan ke tempat sekarang ini,” ujar Tgk Ridwan.

Dayah yang telah mampu mencetak berbagai santri yang tersebar di berbagai pelosok ini, pernah dipimpin oleh sejumlah ulama lain setelah pendirinya kembali ke negaranya saat memasuki usia tua.

Namun, dayah ini mencapai puncak kejayaan pada masa pimpinan Syeikh Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Tanoh Abee. Sehingga, dayah tersebut lebih dikenal dengan sebutan dayah Teungku Chik Di Tanoh Abee.

“Dayah ini berjaya pada masa Syeikh Abdul wahab, makanya dayah ini diberi nama dayah Teungku Chik Tanoh Abee. Selain sebagai tempat pembentukan karakter ulama, semasa kepemimpinan Teungku Chik Tanoh Abee, daya ini juga dijadikan tempat berkumpulnya ulama Aceh seperti Teungku Chik Ditiro dan beberapa ulama lainnya untuk bermusyawarah dan mengatur strategi melawan kolonial Belanda,” terangnya.

Setelah meninggal Teungku Chik Tanoh Abee pada tahun 1894, Dayah yang berjarak sekitar 42 kilometer ke arah Timur Kota Banda Aceh, atau sekitar 7 km ke pedalaman sebelah Utara ibukota Kecamatan Seulimum ini, dikelola secara turun temurun.

Dari Syeikh Abdul Wahab, kemudian diteruskan kepada Syeikh Muhammad Sa’id. Dari Muhammad Sa’id pesantren ini diurus oleh Syeikh Muhammad Husen, kemudian Teungku Muhammad Ali, hingga kemudian jatuh kepada teungku Muhammad Dahlan atau yang lebih dikenal Abu Dahlan Tanoh Abee.

Semasa kepemimpinan Abu Dahlan, yakni pada tahun 1984 hingga 2007, dayah ini kembali mencapai puncak kejayaan. Ribuan santri dari berbagai pelosok menuntut ilmu di Dayah tersebut.

Tak sedikit diantara santri dari dayah Tgk Chik Tanoh Abee tersebut yang telah mendirikan pondok pesantren sebagai wadah memanfaatkan ilmu yang didapatnya.

Setelah Abu Dahlan meninggal dunia pada tahun 2007 lalu, dayah tersebut saat ini dikelola oleh istrinya yang oleh kalangan masyarakat atau santri kerap dipanggil Ummi. Dalam mengelola dayah, Ummi dibantu oleh Teungku Ridwan Tanoh Abee yang tidak lain adalah menantunya.

Sumber: 
http://mehrir.blogspot.com/2012/12/abu-tanoh-abee-sang-pewaris-naskah-aceh.html
http://wwwrakyatacehcom/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar