Oleh: Anasrullah
Thariqah Modern Dalam Tinjauan Tasawuf
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di indonesia ada banyak macam-macam tarekat, tarekat sudah ada sejak dahulu bahkan sejak zaman Nabi. Dalam tarekat tercakup semua aspek ajaran islam, seperti salat, zakat, puasa, zihad, haji dan yang lainnya, ditambah pengalaman serta seorang syaikh.
Tarekat adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh orang dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang masuk tarekat ingin ibadahnya lebih baik dari sebelumnya, walau kadang ada juga yang ibadahnya tetap bahkan lebih menurun karena ia beranggapan dia telah masuk tarekat dan ia akan selamat walau melakukan perbuatan yang salah.
Tapi dalam realitasnya orang yang masuk tarekat dengan yang belum masuk lebih banyak yang belum dan ibadahnya juga ada yang tertib da nada yang tidak tergantung dari masing-masing individu tersebut.
Cikal bakal tasawuf dan tarekat, benih-benih dan dasar ajarannya tak dapat dipungkirisudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidup, dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.
Para Sufi dan Syekh-syekh Mursyid dalam tarekat, merumuskan bagaimana sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat jalan yang harus dilalui oleh para calon sufi atau muri tarekat secara rohani untuk cepat bertaqarrub, mendekatkan diri kehadirat Allah SWT. Kenyataan dalam sejarah juga menunjukkan, bahwa peran serta aktif dari para sufi dan para tuan syekh, mursyid, adalah amat besar dalam dakwah islam dan dalam pembinaan umat, tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiyah, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf dan tarekat itu menghambat kemajuan atau menyebabkan umat menjadi terbelakang adalah sangat keliru. Kenyataan juga membuktikan, sejak dahulu sampai sekarang, kemajuan pembangunan yang serba canggih buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tanpa dikendalikan oleh iman dan taqwa(IMTAQ), tidak hanya mengancam timbulnya kehancuran umat manusia. Dengan kata lain, kemajuan dalam bidang benda material tanpa diimbangi degan kemajuan pembinaan mental spiritual , akan menjurus kepada kehancuran menyeluruh. Maka dari fenomena di atas muncul istilah Thariqah Modern.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Thariqah ?
2. Adakah dalil tentang Thariqat ?
3. Bagaimana Sejarah Munculnya Thariqah ?
4. Bagaimana hubungan Thariqah dengan Tasawuf ?
5. Bagaimana perkembangan Thariqat ?
6. Adakah istilah Thariqat modern ?
BAB II
THARIQAH MODERN DALAM TINJAUAN TASAWUF
A. Pengertian Thariqah
Dari segi bahasa thariqah berasal dari bahasa arab thariqah yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu.[1] Secara harfiah thariqah berarti jalan yang terang,lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Di kalangan Muhaddisin thariqah digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua didasarkan pada sistem yang jelas dibatasi sebelumnya. Selain itu thariqah juga diartikan sekumpulan cara –cara yang bersifat renungan, dan usaha inderawi yang mengantarkan pada hakikat, atau sesuatu data yang benar.
Secara terminology, pemaknaan thariqah agak sulit dirumuskan dengan pas, karena pengertian thariqah ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun kotemporer, nampaknya thariqah dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagaman sebagai upaya spiritualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatullah.[2]
Harun Nasution mengatakan thariqah ialah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Hamka mengatakan bahwa thariqah adalah perjalanan hidup yang harus ditempuh di antara mahkluk dan khaliq.[3] Dalam ilmu tashawuf juga dikatakan bahwa syari’at itu merupakan peraturan, thariqah itu merupakan pelaksanaan sedangkan haqiqoh merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan yang terakhir. Tentang bagaimana melaksanakannya untuk mencapai tujuan, kaum mutashwwifin antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan.
Salah satunya, thariqah adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus bersambung hingga kepada para Guru-guru, Ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga sekarang ini (para Ulama’ Mutashawwifin).[4]
Dengan memperhatikan berbagai pendapat diatas, kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan thariqah adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalam nya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam thariqah ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.[5] Ada juga yang memberikan definisi bahwa Thariqah adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik(orang yang meniti kehidupan sufistik) , dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah. Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah – firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyah organisasi yang disebut thariqah.
Thariqah modern sebenarnya pada dasarnya adalah sama dengan thariqah pada umumnya utamanya dalam segi tujuan. Dalam beberapa rujukan penulis tidak menemukan istilah thariqah modern namun yang mendekati dengan istilah tersebut adalah pemikiran Hamka yang pernah menulis buku yang berjudul Tasawuf Modern. Sekilas, judul tersebut memang menarik, karena adanya tasawuf modern mengesankan adanya tasawuf kolot. Hanya saja, kalau kita baca buku tersebut, yang dimaksud dengan istilah “Tasawuf Modern” adalah semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan modern. Jadi, tasawuf modern berseberangan dengan sufisme tradisional atau sufisme populer (popular sufism), yang contohnya dapat kita saksikan pada praktik ziarah kubur ke makam dan bahkan mengagung-agungkan orang yang dianggap sebagai wali. Karena itu, ketika Hamka menyebut tasawuf modern, maksudnya adalah lepas dari praktik-praktik semacam itu. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang seakan cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian. Adanya istilah modern mengandung maksud bahwa bagaimana dalam kehidupan yang serba modern ini mengaktualisasikan pemikiran – pemikaran dan tujuan thariqah dalam setiap jiwa, maka bisa di sebutkan bahwa thariqah modern hanyalah sebuah istilah yang mana pada intinnya sama dengan ajaran dan tujuan thariqah pada umumnya hanya saja Istilah modern adalah bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan doktrin thariqat diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern
B. Dalil Thariqah
1. Dalil Al – Qur’an
Didalam al-Quran pun kata thariqah muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna. Setelah Allah menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas thariqah, Allah langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya sebagaimana dalam
Q.S Al – Jin Ayat 16 – 17 :
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó™$# ’n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYø‹s)ó™V{ ¹ä!$¨B$]%y‰xî ÇÊÏÈ ÷LàioYÏGøÿuZÏj9 ÏmŠÏù 4 `tBur óÚÌ÷èム`tã Ìø.ÏŒ ¾ÏmÎn/u‘çmõ3è=ó¡o„ $\/#x‹tã #Y‰yè|¹ ÇÊÐÈ
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia menjawab, “hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuat (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-thariqah) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, thariqah dalam ayat tersebut adalah”jalan menuju tauhid yang murni”. Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syekh-syekh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah. Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allah dan yang diisyaratkan oleh syeikh-syeikh tarekat dan pakar-pakar agama
2. Dalil Hadis
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud di dalam menerangkan dekatnya Rosulullah SAW. yang artinya;”Ketika para sohabat R.A mendengar pisahnya dengan beliau Rosulullah SAW. dari dunia ini , maka mereka menjerit dan menangis seraya mereka berkata: Wahai Rosulullah SAW, Engkau utusan kepada kita dan mengukuhkan perkumpulan kita dan menjadi pusat urusan-urusan kita, ketika Engkau meninggalkan kita, maka siapa kita kembali ?. Jawab “Beliau Rosulullah SAW.” Aku telah meninggalkan untuk kamu sekalian 2(dua) pusaka yaitu :Al-Mahajjah , yakni syari’at islammiah dan Ath-Thoriqotil-Baidlo’ yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya bi – Rosulillah SAW.
Dan Aku (Nabi Muhammad .) telah meninggalkan pula untukmu 2 petunjuk yaitu : Petunjuk yang dapat berbicara yaitu Al-Qur’an. Petunjuk yang tidak dapat berbicara yaitu maut.[6]
3. Dalil Menurut Ijma’ Ulama’
mam Malik RA. Berkata dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 408.
مَنْ تَشَرَّعَ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَحَقَّقَ وَلَمْ يَتَسَرَّعْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: Barang siapa melaksanakan syari’at tanpa di sertai thoriqoh hukumnya adalah fasiq, dan barang siapa hanya melakukan toriqoh saja tanpa disertai dengan syari’at hukumnya adalah kafir zindiq, dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya (syari’at dan thoriqoh) maka dia akan sampai pada derajat hakikat (WhusululilaAllah).
قَالَ الشَّيْخُ نَجْمُ الدِّيْنِ اَلْكِبْرِىْ : اَلشَّرِيْعَةُ كَالسَّفِيْنَةِ وَالطَّرِيْقَةُ كَاْلبَحْرِ وَلْحَقِيْقَةُ كَالدُّرّ ِفَمَنْ أَرَادَ الدُّرّ َرَكِبَ ِفيْ السَّفِيْنَةِ ثُمَّ شَرَعَ ِفيْ اْلبَحْرِ ثمُ َّوَصَلَ ِالىَ الدُّرّ ِفَمَنْ تَرَكَ هٰٰذَا التَّرْتِيْبَ َلا يَصِلُ اِلىَ الدُّر ِ
Artinya: Syari’at itu bagaikan perahu, thoriqoh bagaikan laut dan hakikat itu bagaikan intan/permata yang berada di tengah lauatan, barang siapa mengiginkan intan permata itu maka dia harus naik perahu dan berlayar ke tengah lautan kemudian menyelam ke dasar laut, maka dengan cara itulah dia akan menemukan intan permata. Dan barang siapa meninggalkan urutan/tata cara ini maka dia tidak akan sampai dan tidak akan menemukan sebuah intan/permata.
Diterangkan dalam kitab Jamiul Ushul Fil Auliya’ Wa Anwa’ihim hal. 75-76.
Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.[7]
C. Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.[8]
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.[9]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.[10] Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama. Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
D. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[11]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbimngan seoang guru atau syekh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
Thariqah berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, thariqah terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penanaman satu thariqah diambil dari nama pemimpin kelompok belajar itu. Berdasarkan pemaknaan thariqah tadi, terlihat bahwa lembaga thariqah salah satu betuk kelanjutan usaha para sufi terdahulu dalam menyebarluaskan tasawuf sesuai pemehamannya. Dalam ilmu tasawuf, kata thariqah diartikan sebagai “cara sufi” mendekatkan diri kepada Allah yang disebutthuruq as suffiyah. Sedangkan dalam thariqah, kata ini dimaknai sebagai trade markseorang sufi.[12]
Peralihan tasawuf sebagai ilmu praktis dan bersifat perorangan ke thariqah sebagai lembaga, terkait dengan perkembangan tasawuf dan perluasan tasawuf itu sendiri. Dengan semakin banyak tersosialisasikannya tasawuf, maka semakin banyak pula orang yang ingin belajar tasawuf. Para peminat tasawuf itu mendatangi orang yang dinilai memiliki otoritas dalam tasawuf untuk menuntun mereka belajar dari seorang guru yang menguasai sistem pembelajaran yang disusun berdasarkan pengalaman dalam satu bidang ilmu terapan. Oleh karena itu bertemunya dua kebutuhan itulah kemudian seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pembelajaran tasawuf yang memuat beberapa unsur dasar. Sistem pembelajaran itu kemudian menjadi hak paten bagi satu thariqah dan sekaligus pembeda dari thariqah-thariqah lainnya.
Guru dalam thariqah yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syeikh dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut Murid. Sedangkan tempatnya disebut rithbah atau zawiyah atau taqiyah.[13] Dan thariqah itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada allah, maka orang yang menjalankan thariqah itu harus menjalankan syari’at dan si murid harus memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama
b. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru; dan melaksanakan perinthnya dan menjahi larangannya.
c. Tidak mencari-cai keinginan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki
d. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi
e. Mengekang hawa nasfsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Ciri-ciri thariqah tersebut merupakan cirri pada umumnnya dianut setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya berbeda-beda. Sebagai contoh dapat dikemukakan masalah dzikrullah, dzikir mengingat Allah. Ada thariqoh yang memiliki dzikir-dzikir tertentu dengan caranya sendiri-sendiri. Missalnya ada yang berdzikir dengan bersuara atau yang disebut dzikir lisan. Ada dzikir yang diucapkan dalam hati yang dinamakan dzikrul qolbi dan ada juga dzikrullah yang diucapkan secara rahasia yang dinamakan dzikir sir.
Pada umumnya dzikir lisan itu berupa lafadz “laailaaha ilallah”, dzikir qolbi berbunyi “Allah” dan dzikir sir berbunyi ”hu” yang artinya dia yaitu Allah. Ada dzikir yang diucapkan secara bersama-sama, ratib, baik diiringi dengan tabuhan, duf, maupun diiringi dengan nyanyian, tari-tarian, menurut irama dzikir, dengan tarikan nafas, langgam suara atau gerak badan tertentu.
Dari macam-macam pelaksanaanya baik dari tata cara berdzikir, bentuk wirid atau tata cara lainnya, ada pula yang melalui tiga tingkatan yang sudah sangat terkenal yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.
a. Takhalli artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kekotoran hati dari maksiat lahir dan batin
b. Tahalli artinya mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan taat batin
c. Tajallli artinya merasakan persaan ketuhanan hingga mencapai kenyataan tuhan. Inilah maqom tertinggi dalam thoriqot yakni mencapai tajalli.
Selain cara itu, imam al-Ghozali mempunyai cara tersendiri dalam penguraiannya, namun memiliki kemiripan dngan uraian diatas. Beliau menggunakan istilah Mukhlikat dan Munjiyat sebagaimana dalam Kitab “Ihya’ Ulumuddin” Jus tiga dan empat, yaitu perbatan- perbuatan yang membinasakn harus disingkirkan dan perbuatan-perbuatan yang menyelematkan daa membawa manusia pada kebahagiaan harus dijalankan. Lalu beliau memberikan suatu latihan brtingkat yang disebut muqorobah dan muhasabah yadiri dari musyarrotoh, muroqobah,muhasabah, mujhadah dan mua’tabah yang kahirnya tercapailah mukhasyafah serta tersingkapnya hijab antara kholiq dan makhluk.[14]
Dengan demikian, thariqah mempunyai hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaimana disebutkan diatas. Ajaran tasawuf yang harus diamalkan dalam bimbingan seorang guru, itulah yang disebut sebagai thariqah. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa tasawuf adalah seperangkat ilmu mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah “hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.
E. Perkembangan Thariqah
1. Perkembangan Thariqah secara Luas
Dari berbagai literature yang dirujuk (Hamka, Tasawuf-Perkembangan dan Pemurniannya, Nurul Islam, Jakarta, 1987: hlm.102), nampaknya Thariqah Taifuriyah adalah thariqah tertua. Thariqah ini berdiri pada abad ke IX di Persia yang mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah. Perkembangan nyata keberadaan thariqah adalah sekitar abad XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia (Irak). Thariqah yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan thariqah yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Pada era abad XII itu, di Khurasan berdiri thariqah Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi(w.1169) dan thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh abdul Kholiq al-Ghazdawani(1220).[15]
Thariqah Yasviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru thariqah Bektashiyah diidentikan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bektash (w.1335). Thariqah ini cukup popular pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena thariqah itu memilikipasukan komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Osmani, yang disebut ”Jennisari”. Thariqah Naqsyabandiyah adalah salah satu thariqah yang merupakan pengembangan dari thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam perkembangan selanjutnya thariqah ini menyebar ke Turki, India, Indonesia dengan nama baru sesuai pendirinya di kawasan setempat.
Selain dari dua thariqah induk di atas, thariqah yang tergolong rumpun Khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia thariqah, seperti thariqah Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khawalti (w.1397). di kawasan Mesir thariqah ini didirikan oleh Ibrahim Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama thariqah Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad ibn abdul Karim al-Sammani (w.1775).
Thariqah yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak ajarannya berakar dari tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang (w. 910) atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Thariqah Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), thariqah Kubrawiyah yang dipelopori Najamuddin Kubra (w.1221) cukup digemari di India dan Pakistan dan thariqah Maulawiyah yang yang didirikan oleh Jalaludin ar-Rumi (w.1273) berkembang baik di daerah Turki, adalah thariqah-thariqah besar yang mengacu pada tasawuf al-Junaidi. Thariqah Qadriyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul qadir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui thariqah Shadziliyah yang didirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan thariqah Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad ibn Ali Ar-Rifa’I (w.1182). thariqah yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas di hamper seluruh negeri Islam. Thariqah Faridiyah yang mengilhami lahirnya thariqah Sanusiyah dan Idrisiyah di kawasan Afrika Utara, adlah thariqah-thariqah yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar pada tasawuf Dzunan Nun Al-Mishri (w.860). thariqah Qadariyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al0Ghawath dengan mendirikan thariqah Ghawatiya sekitar tahun 1617.[16] Penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya
2. Thariqah yang Berkembang di Indonesia
Sebagai bentuk tasawuf yang melembaga, thariqah ini merupakan kelanjutan dari pengikut-pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf kedalam thariqah sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangannya, yang kemudian menjadi thariqah yang lengkap dengan symbol-simbol dan unsurnya sebagaimana disebutakan di atas.
Dari sekian banyak aliran thariqah tersebut terdapat sekurang-kurangnya enam aliran thariqah yang berkembang di Indonesia, yaitu thariqah Qadariyah, Rifaiyah, Nasqsyabanidiyah, Sammaniyah, Khalawatiyah, dan Khalidiyah.
a. Thariqah Qadariyah
Thariqah Qadariyah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166) dan ia sering pula disebut al-Jilli. Thariqah ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok, sampai pulau Jawa. Pengaruh thariqah ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu. Naskah asli manaqib ditulis dalam bahasa Arab. Berisi riwayat hidup dan penaglaman sufi abdul Qadir Jaelani sebanyak 40 episode. Manaqib ini dibaca denagn tujuan agar mendapatkan berkah dengan sebab keramatnya.
b. Thariqah Rifa’iyah
Thariqah Rifa’iyah didirikan oleh syaik Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin abbas. Meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H. Bertepatan dengan tanggal 23 September tahun 1106M. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia meninggal pada bulan Rajab tahun512 H. Bertepatan dengan bulan November tahun 1118 M. Di Qaryah Hasan. Thariqah ini banyak tersebar di daerah Aceh, Jawa, Sumatera Baret, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya.
c. Thariqah Naqsyabandi
Adapun thariqah Naqsyabandi didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari (727-791 H). Ia biasa di sebut Naqsyabandi diambil dari kata nasqyaban yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan lukisan tentang yang gaib-gaib.
Thariqah ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Ke daerah Sumatera Barat, tepatnya daerah minangkabau, thariqah ini dibawa oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi, sehingga dikenal dengan sebutan Thariqah Nasqsyabandiah al-Khalidiyah. Amalan thariqah ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.
d. Thariqah Tsamaniyah
Thariqah Samaniyah didirikan oleh Yaikh Saman yang meninggal dalam tahun 1720 di Madinah. Thariqah ini banyak tersebar luas di Aceh, dan di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Di Jakarta thariqah ini juga sangat besar pengaruhnya, terutama di daerah pinggiran kota, di daerah Palembang orang banyak yang membaca riwayat Syaikh Saman sebagai tawassul untuk mendapatkan berkah.
e. Thariqah Khalwatiyah
Thariqah khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin (w. 1397 M) di Khurasan dan merupakan cabang dari thariqah Suharawadi yang didirikan oleh Abdul Qadir Shurawardi yang meninggal tahun 1168 M. Thariqah Khalawatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf Al-Khalawati al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Thariqah ini banyak pengikutnya di Indonesia, dimungkinkan karena suluk dari thariqah ini sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radhiyah, mardiyah dan nafsu kamilah.
f. Thariqah Khalidiyah
Thariqah Khalidiyah adalah salah satu cabang dari thariqah Nasqyabandiyah di Turki, yang berdiri pada abad XIX. Pokok-pokok thariqah Khalidiyah dinbangun oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Thariqah in berisi tentang abad dan Zikir, tawassul dalam thariqah, adab suluk, tentang saik dan mawamnya , tentang ribath dan beberapa fatwa pendek dari Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi mengenai beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.
Thariqah ini banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman az-Zuhdi Al-Khalidi.
F. Istilah Thariqah Modern
Sebagaimana di jelaskan dalam pengertian di atas bahwa Thariqah modern hanyalah sebatas Istilah jadi yang hendak di maksud menurut pemahaman penulis bagaimana mengaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah yang di pahaminya dalam kehidupan yang modern sekarang ini. Kemudian andaikan disebutkan tokoh – tokoh thariqah modern sangat sulit menemukan tulisan yang menguraikan Istilah tersebut. Adanya Tasawuf modern padahal kalau kita pahami antara Thariqah dan Tasawuf secara teori berbeda namun keduanya saling berhubungan dan berkesinambungan sebagaimana keterangan di atas. Tanpa maksud untuk mencampur aduk antara thariqah dan tasawuf pada pembahasan Thariqah modern ini penulis cenderung mengikut pada istilah tasawuf modern. Diantara tokohnya adalah
1. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berpendapat bahwa selain mendukung pola hidup sufistik, juga memberikan pencerahan pemahaman kesufian dengan spirit jihad yang aktif dan dinamis. Ia menggugah umat Islam untuk tampil melepaskan keterbelakangan dan dominasi bangsa barat. Menurutnya sufisme islam sebenarnya memiliki spirit yang dinamis, aktif dan aktual.[17]
2. Hamka
Pemikirannya bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan doktrin tasawuf diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern yang di munculkan dalam gagasannya “Tasawuf Modern”. Menurut Hamka, sebenarnya kehidupan sufistik itu lahir bersama dengan lahirnya agama Islam itu sendiri karena ia tumbuh dan berkembang dari pribadi pembawa Islam (Nabi Muhammad) sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi dan Sahabatnya bahwa tasawuf Islam sangat dinamis. Para Ulama’ terkemudian – Lah yang membawa praktek kehidupan sufisme menjauhi kehidupan dunia dan masyarakat.[18] Pengertian sufisme menurut Hamka bukan membenci dunia, meninggalkan kehidupan umum, dan membelakangi masyarakat. Melainkan memperteguh jiwa dan memperkuat pribadi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sufisme murni tidak lari dari gelombang kehidupan, melainkan menghadapi kehidupan dan lebur dalam masyarakat. Mendekatkan diri kepada Allah tidak mesti selalu di Masjid atau ditempat – tempat sunyi. Bagi hamka Sufisme akan tetap cocok dan sesuai dengan perkembangan Zaman karena sufisme adalah dimensi kerohanian islam dan aktifitas spiritual bukan sekedar kegiatan fisik. Menurutnya agar jiwa manusia sehat maka ia harus senantiasa bergaul dengan orang – orang yang budiman, membiasakan diri untuk selalu berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan selalu memeriksa cita – cita diri. [19]
3. Sayyed Husen Nasr
Menurutnya adanya dominasi peradaban barat dan kemajuan iptek ternyata tidak menjamin kebahagiaan batin. Hal ini kemudian yang menyebabkan terjadinya gerakan – gerakan spiritualisme memunculkan banyak aliran thariqat dan lahirnya thariqat – thariqat baru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas dapat di simpulkan :
1. Thariqah adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) , dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah. Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah – firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyah organisasi yang disebut thariqah.
2. Bahwa dalil thariqah walaupun secara tekstual tidak disebutkan secara jelas dalam sumber hukum islam namun demikian jika dikaji secara mendalam secara kontekstul terdapat dalil yang shorih baik dalam al – quran, hadis maupun ijtihad ulama’
3. Secara sosiao historis bahwa kemunculan Thariqah tampak lebih dari sekedar tuntutan sejarah dan latar belakang yang cukup beralasan baik secara sosiologis maupun politis pada waktu itu. Yang mana kemunculannya paling tidak disebabkan oleh dua faktor yautu faktor kultural struktural.
4. Thariqah mempunyai hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah “hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.
5. Dalam perkembangannya Tahriqah mengalami berbagai bentuk perkembangan dan istilah baik dalam arti luas maupun dalam arti yang sempit termasuk salah satu bentuk dari perkembangan itu adalah adanya istilah thariqah modern
6. Istilah thariqah modern sebenarnya secara substansi adalah sama sebagaimana ajarah thariqah dari pengertian awal baik secara ajaran maupun tujuan hanya saja istilah modern adalah bagimana mereaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah dalam kehidupan di dunia modern
B. KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Tentunya masih terjadi berbagai kekurangan di berbagai hal. Harapan penulis mudah – mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca dan pihak selalu penulis tunggu demi subuah kebaikan ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al aziz Senali , Moh.Saifulloh. Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. Gresik: Putra Pelajar,2000.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniannya.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993.
Hamka , Tasawuf Modern.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
http://tasawuf01.wordpress.com/2012/02/15/tanya-jawab-ajaran-thoriqoh/
http://ucun14.wordpress.com/2011/02/09/thariqah/
http://tugasakhiramik.blogspot.com/2009/10/pengertian-tarekat.html
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
Nasution, Harun .Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam, Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986.
Siregar, A.Rivay Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982.
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.269.
[2] A.Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.263.
[3] Abuddin Nata, op. Cit., hlm.270.
[4] Moh.Saifulloh Al aziz Senali, Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. (Gresik: Putra Pelajar,2000),hlm.32.
[5] Abuddin Nata, op cit .,hlm.270-271.
[6] http://tasawuf01.wordpress.com/2012/02/15/tanya-jawab-ajaran-thoriqoh/
[7] http://ucun14.wordpress.com/2011/02/09/thariqah/
[8] http://tugasakhiramik.blogspot.com/2009/10/pengertian-tarekat.html
[9] Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi ”., hlm. 215
[10] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986, hlm. 24.
[11] Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273.
[12] A.Rivay Siregar, op cit., hlm.264.
[13] Abuddin Nata, op cit., hlm. 271.
[14] Moh.Saifulloh Al aziz Senali, op cit., hlm.33-34.
[15] A.Rivay Siregar, op cit ., hlm.266-267.
[16] Ibid.,hlm. 268.
[17] Kharisudin Aqib, Al Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah(Surabaya : PT.Bina Ilmu, 2004), hlm. 28.
[18] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniannya (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993), hlm.186.
[19] Hamka , Tasawuf Modern (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 2.
TAREKAT DALAM TASHAWUF
PENGERTIAN TAREKAT
Asal kata “tarekat” dalam bahasa Arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.1 Tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut “syar”, sedangkan anak jalan disebut “thariq”. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hokum Ilahi, tempat berpijak bagi umat muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jaln utama tempat berpangkal. Pengalamam mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengalir itu tidak ditaati terlebih dahulu.2
Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqah menarik perhatian kaum sufi dan mereka menjadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Menurut L. Massignon, sebagai mana dikutip oleh Aboe Bakar Atjeh, thariqah dikalangan sufi mempunyai dua pengertian. Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Arti seperti ini dipergunakan kaum sufi pada abad ke-9 dan ke-10 M. Kedua, thariqah berarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalan segolongan orang Islam menurut ajaran dan keyakinan tertentu.3
Selanjutnya, Aboe Bakar Atjeh menjelaskan bahwa pengertian tarekat pertama diatas masih kabur. Pengertian seperti ini mungkin digunakan untuk memperdalam syariat sampai hakikatnya melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu, maqamat dan ahwal. Sememntara itu, menurut pengertian kedua, tarekat sudah menjelma menjadi suatu kekeluargaan yang didirikan menurut aturan dan perjanjian tertentu.4
Sememntara menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata tariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tareqat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendiri.5
Dr. Kamil Musthafa Asy-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan system thariqah ( tarekat ) adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (w. 561 H / 1166 M) di Baghdad. Ajaran tareqahnya menyebar keseluruh dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia, dan Jawa. Adapun di Mesir tareqah yang abnyak pengikutnya adalah Tarekat Rifa’iyyah yang di bangun Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i. tempat ketiga ditempati tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal Ad-Din Ar-Rumi (w. 672 H /1273 M ). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat music sebagai sarana dzikir. Kemudian, system ini berkembang terus dan meluas. Dalam periode berikutnya, muncul tareqat Asy-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian timur pada umumnya.6
HUBUNGAN TAREKAT DENGAN TASHAWUF
Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukkan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.7
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak Ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbingan seorang guru atau syekh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bawha tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri dengan Allah.
ALIRAN-ALIRAN TAREKAT DALAM ISLAM
Di antara tarekat dalam Islam adalah sebagai berikut :
1. Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (470/1077-561/1166) atau quthb al-awaliya’. Tarekat ini menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.
2. Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Al-Hasan Asy-Syadzili (593/1196-656/1258). Syadziliyzh menyebar luas di sebagai besar Dunia Muslim. Ia diwakili di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14 cabang dikenal secara resmi pada tahum 1985.
3. Tarekat Naqsabandiyah
Didirikan oleh Muhammad Baharuddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Dalam India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan nama pendirinya di daerah tersebut.8
4. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (w. 562 H / 1169 M), dan Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (w. 617 H /1220 M).
5. Tarekat Khalwatiyah
Didirikan oleh Umar Al-Khalwati (w. 1397 M). berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.
6. Tarekat Syatariyah
Didirikan oleh Abdulah bin Syattar (w. 1485) dari India.
7. Tarekat Rifa’iyah
Didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182). Tarekat Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme.
8. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad-19. Tarekat ini merupakan yang paling berpengaruh dan tersebar meluas di jawa saat ini.
9. Tarekat Sammaniyah
Didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’I As-Samman (1130-1189/1718-1775).
10. Tarekat Tijaniyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun.
11. Tarekat Chistiyah
Didirikan oleh Khawajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih poopuler dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti di India.
12. Tarekat Mawlawiyah
Didirikan oleh Muhammad Jala Ad-Din Ar-Rumi (w.1273). Mawlawiyah berasal dari kata “mawlana” (guru kami), yaitu gelar yag diberikan murid0muridnya kepada Rumi.
13. Tarekat Ni’matullahi
Didirikan oleh Syekh Ni’matullah Wali (lahir sekitar 1329 M).
14. Tarekat Sanusiyah
Didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi yang biasa di panggil dengan “SAnusi Agung” (Lahir menurut satu versi 22 Desember 1787).
Pengertian
"Ma'rifat" dalam bahasa berarti tahu atau kenal, ilmu atau pengetahuan, diambil dari bahasa Arab 'arafa. Dalam artian umum, ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam tasawuf, makrifat berarti mengetahui Allah SWT dari dekat, yaitu pengetahuan dengan hati sanubari. Dengan makrifat seorang sufi lewat hati sanubarinya, dapat "melihat" Tuhan Allah SWT. Para sufi mengatakan, "kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Makrifat itu merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Yang dilihat orang arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT".
Pengetahuan dalam bentuk makrifat merupakan pengetahuan yang langsung ada pada Allah SWT, yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang diberi kemampuan menerimanya. Makrifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut para Sufi seperti yang dikemukakan oleh seoran sufi, Abu Bakar Al Kalabazi, bahwa Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya. (Ensiklopedi Islam 3, 1994 :130). Tentang "cahaya" ini bisa dilihat di dalam Al Quran surat An Nuur, Al Hadid 9-19, dan beberapa surat lainnya.Intinya makrifat adalah perolehan "cahaya" yang disebutkan pada ayat2 Al Quran tersebut, dimana cahaya ini tidak diberikan kepada mereka yg tidak tertarik dan berusaha mencari tuk mendapatkannya. Dan "cahaya" ini haya bisa dilihat lewat hati sanubari / qolbun salim.
Hubungan Tasawuf dengan Ma'rifat
Makrifat kadang-kadang dipandang sebagai maqom/level tingkatan ruhani dan terkadang dipandang sebagai haal/kwalitas ruhani. Antara makrifat dan mahabbah ada kesamaan dan ada perbedaan. Persamaannya keduanya menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya.
Zunnun Al-Mishry berkata, Artinya : Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku juga, kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku. (Al Qusyairi : 315). Menurut Zunnun tokoh utama dan pencetus paham makrifat berpendapat, bahwa pengetahuan tentang Tuhan Allah itu terbagi tiga, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan ulama dan pengetahuan orang arif.
Pengetahuan orang awam tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat. Pengetahuan ulama mementingkan dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Allah disebut sebagai ilmu, bukan makrifat. Pengetahuan dalam bentuk makrifat menurut Zunnun, adalah pengetahuan tentang Allah di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Allah dengan hati sanubarinya. Makrifat ini adalah anugerah Allah kepada kaum sufi yang telah dengan ikhlas beribadat dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Allah. Dengan keikhlasan ibadat itulah, maka Allah menyingkapkan tabir (kasysyaf) dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Allah SWT. Dalam keadaan demikian, sufi dapat melihat keindahan Allah yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya. Dalam tasawuf terdapat komunikasi dua arah. Di satu pihak sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah, sedangkan di lain pihak Allah dari atas menurunkan rahmat-Nya. Ketika berlangsung komunikasi dua arah dalam bentuk makrifat, pengaruh akal dan penglihatan mata hilang, karena yang disaksikan seorang sufi hanyalah yang hakiki yaitu Allah melalui hati sanubari.
Al Qusyayri mengatakan ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Allah SWT.
Qalbu (Qalb, the heart) untuk mengetahui sifat Tuhan.
Roh (Ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan.
Sir (Sirr, hati sanubari, inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan.
Dari ketiga alat tersebut, Sir merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi kalbu. Sir merupakan alat yang digunakan oleh sufi untuk memperoleh makrifat. Oleh sebab sir bertempat pada roh dan roh bertempat pada kalbu, maka sir timbul serta dapat menerima makrifat dari Allah SWT, di kala roh dan kalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi ketika itu menangkap cahaya Tuhan yang diturunkannya. Kalbu tak ubahnya sebagai kaca, jika senantiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sir yang benar, untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Allah SWT. Apabila cahaya cemerlang itu diperoleh, di kala itulah sufi bertemu dengan zat maha tinggi. Pertemuan dengan Allah, itulah puncak kebahagiaan.
Walaupun makrifat dapat menyingkapkan rahasia-rahasia Allah kepada seorang sufi, namun makrifat yang penuh tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia, lantaran keterbatasan manusia itu sendiri, disamping kemutlakan Allah SWT. Al Junaid mengatakan dalam hal ini, "Cangkir teh tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut". Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memeproleh makrifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya. Setelah makrifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Zunnun mengatakan bahwa makrifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya yang harus berhiaskan akhlak Allah SWT.Pergaulan orang arif bila telah sampai ke tingkat ini bagaikan pergaulan dengan Allah SWT. Siti Aisyah waktu ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab bahwa akhlak Rasulullah adalah Al Qur'an.
Menurut Zunnun ada tiga tanda orang arif :
Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya.
Tidak mengakui secara batiniah, ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah (hukum syari'at)
Nikmat Allah SWT yang banyak itu tidak menggiringnya untuk melanggar larangan Allah SWT.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak tinggi yaitu akhlak ilahiyah. Paham makrifat yang dikemukakan Zunnun itu diterima oleh Al Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Al Ghazali adalah salah seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Al Ghazali-lah yang membuat tasawuf menurut pola pikir tersebut menjadi halal dan dapat diterima oleh kaum syariat. Al Ghazali mengatakan, "Makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada". Al Ghazali mengatakan, "Alat seorang sufi mendapatkan makrifat adalah kalbu, bukan panca indera atau akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (makrifat dan bukan falsafah). Al Ghazali mengatakan makrifat juga berarti memandang kepada wajah Allah SWT.
Selanjut-nya dia mengemukakan bahwa makrifat mengandung tujuan moral, kebahagiaan, cinta kepada Allah SWT dan fana di dalamnya. Jalan yang ditempuh kaum sufi mengandung tujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa, dan juga bertujuan mengganti akhlak tercela menjadi akhlak yang terpuji. Dengan kata lain, tujuan makrifat menurut Al Ghazali sejalan dengan tujuan makrifat menurut Zunnun, yakni mengacu pada moral ilahiyah. Untuk dapat ma'rifat kepada Allah, haruslah melalui mujahadah, perjuangan yang sungguh-sungguh dan terus menerus melaksanakan jalan menuju Allah itu.
Firman Allah SWT
Artinya : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (Q.S. Al Ankabut 29 : 69).
Orang-orang yang berjalan menuju Allah, ibarat jarum-jarum menuju gumpalan besi berani. Getaran magnit besi berani itulah yang lebih berperan sesungguhnya untuk mendekat, dibandingkan usaha jarum itu sendiri.
Sabda Rasulullah SAW (Hadis Qudsi),
Artinya : Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama dengannya. Ketika dia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku, dan jika dia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya pada khalayak yang lebih baik. Dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku pun mendekat pula kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku berjalan maka Aku mendatanginya sambil berlari. (H.R. Bukhari Muslim).
Setelah dekat bahkan lengket dengan besi berani, si jarum tidak sadarkan diri dan tidak berfungsi sama sekali. Dalam keadaan demikian si jarum tidak menjadi besi berani, begitu pula sebaliknya. Begitulah orang yang 'arif billah menggambarkan keadaan orang yang fana' fillah.
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengatakan, perumpamaan orang arif yang sedang fana' fillah, ibarat besi panas. Besi luluh dan lebur bersama api. Tidak dapat dibedakan mana yang besi mana yang api. Besi tidak panas, karenanya tidak membakar. Yang panas tetap api dan apilah yang membakar. Tapi karena begitu berhampirannya besi dengan api, sehingga tidak dapat dibedakan mana yang besi dan mana pula yang api. Walaupun demikian besi tidak akan jadi api dan sebaliknya. Begitu pulalah halnya orang 'arif atau mursyid tidak akan jadi Allah dan sebaliknya. Yang memberi bekas - keramat misalnya - tetap Allah. Orang 'arif atau mursyid menyalurkan wasilah, getaran, power tak terhingga yang langsung dari Allah SWT, melalui kekasih-Nya, wali-wali Allah, orang 'arif, atau mursyid.
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menggambarkan hal yang sama, seperti strum listrik dengan kabel. Strum listrik bukan kabel dan sebaliknya. Strum tidak akan jadi kabel dan sebaliknya. Yang memberi bekas adalah tetap strum yang datang dan bersumber dari dinamo sentral listrik. Rumusan beliau ini berdasarkan firman afaki yang dikelola berdasarkan iptek dikonfirmasikan dengan firman kitabi, kemudian diaktualisasikan sehingga menjadi kenyataan melalui uji coba berpuluh-puluh tahun. As Syekh Al Qusyayri memulai untuk menjelaskan tentang ma'rifah ini dengan mengemukakan (Q.S. Al An'am 6 : 91).
Firman Allah SWT,
Artinya : Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya
(Q.S. Al An'am 6 : 91).
Dalam kitab-kitab tafsir tertulis ayat ini berarti,
Artinya : Mereka tidak mengenal Allah sebagaimana seharusnya Dia dikenal.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi bersabda "Landasan sebuah rumah adalah pondasinya. Landasan agama adalah pengenalan langsung terhadap Allah" (H.R. Ad Dailani)
Di kalangan sufi, ma'rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya, dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan perbuatan-perbuatan-Nya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dengan segala cacatnya. Kemudian dia berdiri lama di depan pintu, kemudian dia senantiasa mengundurkan hatinya dari hal-hal duniawiyah yang rendah. Setelah itu dia menikmati kedekatan dengan Allah dengan segala keindahannya dan mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaan terhadap Allah. (Al Qusyayri : 311-312).
Dalam buku-buku tasawuf kita jumpai kalimat-kalimat yang terjalin menegaskan keeratan hubungan antara syariat, tarikat, hakikat dan makrifat itu. Sabda Rasulullah SAW yang maksudnya, "Syariat itu perkataanku, tarikat itu perbuatanku, hakikat itu ialah pengetahuanku dan makrifat itu adalah keadaanku".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar