Senin, 30 Desember 2013

Sejarah Singkat Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh adalah sebuah saksi sejarah Aceh, terletak di pusat kota Banda Aceh dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman adalah lambang persatuan keagamaan, keberanian dan rakyat Aceh. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dan merupakan pusat ilmu pendidikan agama di nusantara. Masjid yang dibangun pada waktu kesultanan Aceh merupakan salah satu masjid tertua di Aceh dengan arsitektur termegah. Pada saat itu banyak pelajar dari nusantara, bahkan dari Arab, Turki, India, dan Persia yang datang ke Aceh untuk belajar agama.

Kemunduran Kesultanan

Masa keemasan Aceh tidak berakhir sampai akhir abad ketujuh belas. Namun, wafatnya Sultan Iskandar Muda pada 1636 menandai titik awal dari kemunduran. Disebabkan tiada lagi beliau secara bertahap menyebabkan kemerosotan kekuasaan politik dan perdagangan Aceh. Melemahnya Kerajaan Aceh Darussalam, disebabkan oleh dua ancaman utama, dari luar negeri dan dalam kerajaan sendiri. Di luar ancaman adalah intervensi dari kekuatan Eropa, khususnya Belanda dan Inggris, dalam perjuangan mereka untuk mendominasi perdagangan di Asia Tenggara. Perdagangan internasional di sepanjang Selat Malaka berada dalam kekacauan setelah Belanda menyerang Malaka pada tahun 1640. Aceh kemudian diperintah oleh penerus Muda (putra mahkota), Sultan Iskandar Thani. Lama periode perang melemahkan Kerajaan dan penurunan kemampuan angkatan bersenjatanya. Secara internal, konflik muncul setelah kematian Sultan Iskandar Thani, ditambah lagi oleh kalangan Ulee Balang yang tidak setuju dengan kepemimpinan Ratu.
Meskipun Aceh berkembang terus di banyak daerah, ancaman internal dan eksternal terkikis kekuatan ekonomi dan militer Kerajaan. Selama masa pemerintahan empat ratu, sejumlah kudeta terjadi. Para bangsawan dan pedagang mencoba untuk melemahkan kepemimpinan ratu dengan menarik simpati dari kelompok agama berpengaruh. Bersama-sama mereka membuat kasus bahwa kepemimpinan perempuan bertentangan dengan hukum Islam. Pemberontakan mereka terhadap kepemimpinan perempuan memuncak pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin (1675 - 1678) ketika mereka membakar ibukota dan menghancurkan sebagian besar bagian kota, termasuk kompleks istana dan masjid besar Baiturrahman University. Periode konflik yang panjang diperburuk oleh niat Belanda untuk mengklaim Aceh sebagai koloni. Meskipun Aceh tidak pernah menerima kekuasaan Belanda, Kerajaan Aceh berakhir ketika Belanda berhasil menginvasi istana dan menangkap Sultan terakhir, Muhammad Daud Syah, pada tahun 1903, setelah sekitar enam puluh tahun pertempuran.

Bangunan Keagamaan

Dari periode awal Islamisasi sejumlah masjid dibangun di ibu kota. Tercatat dalam sejarah bahwa masjid paling awal dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah I (1267-1309) di halaman (dikelilingi dinding) istananya, Darud-Dunia, sekarang terletak di Banda Aceh. Sultan memberi nama Baiturrahman Masjid (Rumah Maha Penyayang). Kemudian, masjid lain, Baiturrahim (Rumah Pengasih) dibangun oleh Sultan Alaidin Syamsu Syah (1497-1511) di halaman (dikelilingi dinding) istana Kuta Alam, kini juga berada di Banda Aceh. Selama abad ketujuh belas beberapa masjid lainnya dibangun di kota Aceh. Iskandar Muda membangun kembali Masjid Baitur Rahman yang terletak di kota Aceh, dan membangun masjid Indrapuri, yang diberi nama setelah tempat itu dibangun, sekitar tiga puluh kilometer di luar ibu kota.
Masjid asli pertama kali dibangun pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), ketika Aceh berada di puncak kejayaannya. Dari Peter Mundy (1637) sketsa Banda Aceh, kita dapat melihat bahwa Masjid Baiturrahman adalah sebuah bangunan persegi yang terbuat dari kayu. Bentuk atapnya adalah piramida empat berjenjang dengan atap meru (istilah untuk model atap) lebar berpinggul, (tanpa menara). Bangunan ini dikelilingi oleh beberapa lapis benteng. Sketsa Johannes Vingboom dibuat beberapa tahun setelah itu, pada akhir abad ke-17, menunjukkan atap hanya memiliki tiga lapisan, bukan empat.


Masjid Raya Baiturrahman pada abad ke-17 Masehi, lukisan Peter Mundy (sumber : Reid 1996, Indonesian Heritage; Early of Modern History)

Perubahan atap Masjid Baiturrahman dari sebuah atap limas berlapis ke Kubah (dome) terjadi pada akhir abad ke-19 ketika Kerajaan Aceh Darussalam sedang berperang dengan Kolonial Hindia Belanda atas perjanjian dagang. Interaksi ekonomi antara Aceh dan beberapa negara Eropa (seperti Inggris dan Perancis) dan Ottoman Empire, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara-negara Belanda ini memiliki keinginan untuk mengendalikan Aceh. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda, yang diwakili oleh FN Nieuwenhuijsen, terlibat dalam manuver politik untuk membuat Aceh menjadi bagian dari kolonial Hindia Belanda kerajaan. Namun, Kerajaan Aceh Darussalam menolak tawaran ini karena ia memilih untuk menjadi kerajaan independen. Sebagai konsekuensinya, pemerintah kolonial mengadakan tindakan pertama agresi di Aceh pada 26 Maret 1873. Salah satu strategi untuk menghancurkan kekuatan dan semangat masyarakat Aceh adalah dengan menghancurkan istana dan masjid.

Setelah beberapa hari pertempuran, pada 6 Januari 1874, pasukan Belanda mampu menguasai Masjid Baiturrahman. Itu adalah pertarungan yang sangat sulit yang menyebabkan kematian pemimpin Belanda, Mayor Jenderal JHR Kohler, yang tewas langsung. Lebih dari 400 tentara Belanda juga tewas. Kemenangan Belanda di menghancurkan Masjid Baiturrahman diikuti oleh kemenangan berikutnya, jatuhnya Dalam, (Keraton atau Istana Raja) di Kutaraja (Kota para Raja atau Banda Aceh sekarang), 18 hari setelah kemenangan pertama, pada tanggal, 24 Januari 1874. Dalam, juga dibakar oleh tentara Belanda. Jatuhnya Masjid Baiturrahman dan Dalam, diikuti oleh kematian Sultan Aceh (Raja Aceh) karena kolera, dipicu klaim Belanda bahwa mereka telah memenangkan perang.

Tercatat dalam sejarah, masjid Baiturrahman telah dibakar dua kali oleh Belanda. Pertama, pada 10 April 1873. Dalam pertempuran ini Mayor Jenderal JHR Kohler tewas di depan masjid, di bawah pohon rindang yang disebut "geulumpang" (Sterculia foetida) yang kemudian Belanda disebut "Kohler Boom". Serangan kedua diluncurkan pada 6 Januari 1874. Meskipun pejuang Aceh membela masjid dengan segala upaya, namun karena kurangnya senjata yang mereka punya, Belanda akhirnya mengalahkan mereka. Belanda berhasil merebut masjid dan membakarnya. Tidak lama setelah itu, Belanda mengumumkan bahwa Aceh sudah berhasil ditaklukkan.

Strategi berikutnya adalah taktik kolonial untuk mendapatkan simpati rakyat di koloni baru mereka. Dalam kasus Aceh , pemerintah kolonial membangun kembali Masjid Raya yang terbakar di Aceh sebagai hadiah atau isyarat rekonsiliasi, yang menyebabkan perjanjian kerjasama yang lebih baik antara pemerintah kolonial dan kerajaan yang dijajah. Perang Aceh (1873-1903) adalah pertempuran gerilya terpanjang dan kekalahan yang paling sulit bagi Belanda selama tekad untuk mendapatkan dominasi atas bagian utara Sumatera. Hal ini menyebabkan kerugian keuangan yang besar bagi pemerintah Belanda. Sebagai hasil, Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge membangun kembali Masjid Baiturrahman untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Aceh. Setelah kalah perang panjang ini yang mengakibatkan kematian banyak korban dan telah menghabiskan sumber daya keuangan yang cukup besar, yang hampir membuat pemerintah Belanda bangkrut, pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan untuk membatasi kekuasaan mereka atas wilayah tersebut dan untuk mengontrol hanya wilayah Kutaraja. Mereka juga mengakui bahwa strategi mereka untuk membakar Masjid Baiturrahman adalah sebuah kesalahan.

Pada hari Kamis 13 Syawal 1296 atau 9 Oktober 1879, di lokasi yang tepat dari Masjid Baiturrahman sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah masjid baru yang mewah, benar-benar berbeda dari bentuk sebelumnya. Letnan Jenderal Karel Van der Heijden, yang merupakan pemimpin pasukan Hindia Belanda di Aceh, disaksikan Teungku Kadhi Malikul Adil, konselor dari Sultan Aceh untuk urusan agama, peletakan batu pertama sebagai tindakan simbolis untuk memulai pembangunan masjid baru. Masjid ini dirancang oleh arsitek Italia-Belanda, yaitu Meester de Bruins dari Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia. Konstruksi diawasi oleh LP Luyks dan beberapa ahli lainnya. Dalam rangka untuk memastikan bahwa masjid ini dirancang dengan benar sesuai dengan hukum Islam, konstruksi juga diawasi oleh Penghulu Besar Garut.


Peta Kutaraja (Banda Aceh) pada tahun 1875 (sumber : KITLV, Leiden).

Pemerintah menugaskan Lie A. Sie , seorang letnan Cina di Aceh, bertanggung jawab untuk pembangunan. Biaya disetujui adalah f 203.000 (gulden). Sebagian besar bahan berasal dari luar Aceh. Kapur atau mortar (semacam semen perekat batu bata) adalah dari Penang Island, beberapa jenis batu berasal dari Belanda, marmer yang digunakan untuk lantai dan tangga adalah dari Cina, rangka besi untuk jendela dari Belgia itu, kayu untuk bingkai jendela itu dari Burma dan pilar besi yang dari Surabaya. Biaya pembangunan masjid menjadi sangat mahal dan melebihi perhitungan awal karena bahan-bahan impor. Setelah dua tahun pembangunan, pemerintah kolonial akhirnya diserahkan masjid untuk masyarakat Aceh pada tanggal 24 Safar 1299 atau 27 Desember 1881 melalui upacara resmi, di mana Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk Aceh, A Pruijs van der Hoven, secara simbolis memberikan kunci dari masjid ke Teungku Kadhi Malikul Adil sebagai wakil dari masyarakat Aceh. Teungku Syeh Marhaban, seorang pemimpin agama dari Pidie bertanggung jawab atas pengelolaan masjid.


Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1890 (sumber: KITLV Leiden)

Masjid Baiturrahman baru itu terkesan Arab, Eropa klasik dan gaya arsitektur Moorish. Gaya Moorish jelas terlihat dari pintu interior dan depan, terkesan Alhambra. Ciri utama adalah penggunaan bentuk geometris sebagai unsur utama dari ornamen dekoratif, termasuk motif Arabesque naturalistik. Bentuk denah masjid adalah salib terbalik dengan 28 kolom bulat dan 16 kolom persegi yang menjadi bagian dari struktur utama bangunan. Masjid ini mempunyai luas 800 meter persegi. Memiliki satu pintu masuk utama. Tembok yang mengelilingi masjid memiliki 34 jendela tinggi dengan teralis besi bergaya Arabesque. 
 
Atap ditutupi oleh Kubah utama (dome) karakteristik dari arsitektur Mughal dari Orchha dan Jahangir Mandir (1605). Bentuk dasar Kubah tampak seperti tambur oktagonal atau gendang. Kubah itu terbuat dari struktur kayu dengan satu kolom besar di tengah, kolom utama itu digunakan untuk menyokong struktur yang diatas mirip payung dan bentuknya seperti bawang. Struktur ini ditutupi oleh papan kayu yang dipanaskan atau dikukus untuk mendapatkan bentuk melengkung. (Teknik ini mirip dengan metode pembuatan kapal). Terakhir, atas kayu struktur itu, kubah ditutupi oleh sirap (atap sirap). 

Tambur oktagonal menciptakan ruang yang cukup bagi orang untuk masuk. Ruang ini bisa berfungsi sebagai kantor. Tambur ini memiliki tangga menuju ke ruang utama masjid. Namun, tangga ini ditutup sekarang dan tidak dapat digunakan. Tambur ini juga dikelilingi oleh teras (balkon), dari mana orang-orang bisa melihat kota Banda Aceh dan muazin bisa mengumandangkan adzan. 

Lantai tambur yang terbuat dari kayu yang juga berfungsi sebagai langit-langit ruang utama masjid. Lantai kayu ini didukung oleh 12 kolom di bawahnya. Kolom utama, yang terletak di sudut-sudut modul segi delapan, memiliki dasar persegi sedangkan pada empat sisinya ada kolom dasar berbentuk bulat. Jarak antara setiap kolom adalah sekitar tiga meter dan ini menjadi struktur utama untuk mendukung seluruh berat atap. Pada awalnya, ruang utama ditutupi dengan atap berbentuk kubah dan kamar lain ditutupi dengan atap piramida berpinggul.


Rencana pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman berbentuk salip terbalik pada tahun 1879 
Masjid Raya Baiturrahman (sumber: KITLV, Leiden)

Dalam penelusuri dan membayangkan aliran arsitektur dari satu belahan dunia Islam yang lain, Masjid Baiturrahman menunjukkan Kubah (dome) bentuk Mughal dan arsitektur Indo-Islam di India. Penggunaan chattris atau paviliun kubah berasal dari arsitektur Rajput dari Jahangir Mandir (1605). Menunjukkan aliran bi-lateral referensi arsitektur simbolik antara penjajah dan 'dijajah', atap pelana kemudian mengingatkan pada rumah-rumah saudagar Belanda abad ke-16 di Amsterdam. Masjid Baiturrahman melambangkan sebuah penggabungan dari Occidental dan budaya Oriental dan mendukung gagasan perubahan terjadi tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam arsitektur. 


Rekonstruksi dalam kubah Masjid Raya Baiturrahman

Namun, pembangunan kembali masjid tidak bisa secara otomatis melunakkan hati rakyat Aceh karena mereka menolak untuk menggunakan masjid karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah bahwa masjid ini dibangun oleh Belanda, yang merupakan musuh rakyat Aceh. Perang Aceh, yang telah dipandang sebagai tidak hanya sebagai perang untuk kekuasaan dan wilayah, tetapi juga sebagai perang agama antara kafir Belanda dan umat Islam Aceh, telah menciptakan resistensi yang kuat terhadap keberadaan masjid. Resistensi ini menjadi lebih kuat karena salib terbalik rencana lantai masjid.

Pembangunan masjid ini selesai pada 1881 dan memiliki satu kubah. Pada tahun 1936, ketika Y. Jongejans adalah warga, dua bangunan yang ditambahkan, satu di sebelah kanan dan yang lain berada di sebelah kiri masjid, sehingga tiga kubah. Rencana ekspansi biaya 35.000 Gulden dan itu dirancang oleh Ir. Mohammad Thaher, seorang arsitek Aceh, dan Dinas Pekerjaan Umum melakukannya. Pada masa kemerdekaan, di bawah pemerintahan Gubernur Ali Hasjmy itu, masjid ini diperluas lagi dan dua menara yang dibangun di setiap sisi, sehingga menjadi lima kubah dan dapat menampung 10.000 jama'ah. Perluasan dipercayakan kepada NV Zein dari Jakarta. Menteri Indonesia Urusan Agama, K.H. M. Ilyas, melakukan peletakan batu pertama pada hari Sabtu 1 Safar 1387 atau 16 Agustus 1958. Pekerjaan perluasan selesai pada tahun 1967, masjid ini memiliki lima kubah dan dua menara.


Rencana rekonstruksi Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1936

Dalam rangka memeriahkan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Tingkat Nasional-XII mulai tanggal 7 Juni hingga 14 Juni 1981 di Banda Aceh, dihiasi dengan pelataran seperti yang ada di Masjidil Haram, instalasi Klinkers atas jalan-jalan di halaman Masjid Raya. Perbaikan dan penambahan tempat wudhuk dari porselin, pemasangan pintu Krawang, lampu kandil, kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an dari bahan kuningan, serta di depan kubah utama pemasangan air mancur pada kolam di halaman depan.

Pada tahun 1991, Gubernur Ibrahim Hasan melakukan perluasan bangunan masjid ke halaman belakang yang juga halaman mencakup depan dan belakang serta masjid itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas, termasuk penambahan dua kubah, bagian lantai masjid ruang shalat, perpustakaan, ruang tamu, kantor, aula dan tempat wudhuk, dan 6 ruangan sekolah. Sementara perluasan termasuk halaman, taman dan tempat parkir serta menara utama tunggal dan dua menara.

Dilihat dari sejarah, Masjid Baiturrahman memiliki nilai yang tinggi bagi rakyat Aceh, Sultan Iskandar Muda karena sejak masih berdiri megah di jantung kota Banda Aceh. Masjid Raya memiliki banyak fungsi selain tempat shalat, tempat untuk ceramah, acara keagamaan seperti acara-acara Maulid Nabi Besar Muhammad dan hari peringatan 1 Muharram dan Musabaqah Tilawatil Qur'an dan tempat kunjungan bagi warga kota sebagai serta pendatang baru dan salah satu daya tarik Islami.

Tujuh kubah yang anggun berwarna hitam, dinding bercat putih, 4 menara, dan menara utama adalah beberapa fitur unik dan khusus dari Masjid Raya Baiturrahman. Pada bagian depan masjid, terkenal di seluruh dunia sebagai arsitektur megah dan bersejarah, orang dapat melihat kolam dilindungi oleh pagar besi pendek. Sering dibicarakan tentang masjid ini setelah tsunami 2004 yang melanda Aceh, yang menakjubkan masjid tetap utuh dan menjadi saksi sejumlah orang mengungsi di sini sedangkan air laut yang dahsyat menghancurkan segalanya.

Menara utama mengarah dari teras masjid depan. Jalan paving blok mengarah ke menara utama yang tingginya lebih dari 35 meter.

Masjid Baiturrahman yang megah tidak hanya tempat shalat dan ibadah bagi umat Islam tetapi juga merupakan ikon dari provinsi Aceh. Terletak di jantung ibukota Banda Aceh, masjid ini juga salah satu tempat wisata paling populer di wilayah Aceh.

Menara utama yang anggun Masjid Raya Baiturrahman, "Masjid Raya Baiturrahman" di kota Banda Aceh menyambut pengunjung bahkan sebelum mereka mencapai gerbang salah satu masjid terindah di Indonesia.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar