IBNU HAZM dan orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa yang dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis." (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Mereka berdalil dengan hadits tersebut untuk menyatakan orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat At Taubah ayat 28:
"Hanyalah orang-orang musyrik itu najis."
Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang muslim itu suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis. Sedang yang dimaksud dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal keyakinannya dan dalam kekotorannya.
Juga dengan dalil bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya, bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas suami untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima'. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar ../45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy Syarhul Mumti' 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih. Wallahu Ta'ala a'lam.
Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 30
http://telagasunnah.blogspot.com/2009/11/apakah-orang-kafir-najis.html
APAKAH ORANG KAFIR ITU NAJIS?
Oleh : Abu Akmal Mubarok
Beberapa waktu lalu ada yang bertanya mengenai apa hukumnya jika ada teman laki-laki non-muslim memakai pakaian temannya yang muslim?
Pertanyaan ini pasti terkait dengan ayat yang menyebutkan bahwa orang kafir itu najis Memang ada orang yang berpendapat bahwa orang kafir itu najis berdasarkan ayat berikut ini :
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Q.S. At-Taubah [9] : 28)
Sebagian orang memahami ayat ini secara harfiah yaitu najis fisik. Sementara yang lain memahami ini adalah najis majaz (kiasan). Sebagian lainnya bersikeras bahwa ini adalah najis fisik, karena ayat ini diikuti dengan perkataan “maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini”. Maka ketidak bolehan memasuki Masjidil Haram menunjukkan najis fisik sehingga orang kafir tidak boleh memasuki masjid secara umum karena orang kafir itu tidak kenal mandi junub sehingga tubuhnya selalu dalam kondisi berhadats besar.
Sebagian orang memahami secara tekstual sesuai zhahir dalil bahwa orang musyrik itu najis, sehingga mereka melarang orang musyrik memasuki masjid manapun secara umum. Lalu jika memang orang kafir itu najis, apakah jika kita bergesekan dan bersentuhan atau bersalaman dengan orang kafir musyrik harus dicuci? Apakah jika kedatangan tamu orang musyrik, duduk di sofa, melangkah di lantai kita harus dicuci? Sebagian kelompok sempalan Islam yang ekstrim atau beraliran neo-zhahiriyah memang melakukan hal itu. Sehingga jika ada orang diluar kelompoknya yang dianggap kafir dan najis, maka bekas tempat duduknya harus dipel.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan najis di situ adalah secara maknawi, atau kiasan, dimana maksudnya adalah jiwa orang musyrik itu najis karena kotor. Yaitu dikotori oleh keyakinan yang salah perihal Allah.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa tubuh orang musyrik dan kafir itu tidak najis karena Allah telah menghalalkan sembelihan dan menikahi ahli kitab. Jika tangan ahli kitab najis niscaya tidak halal memakan sembelihan ahli kitab karena tidak mungkin menyembelih tanpa menyentuhnya (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10 hal 191)
Juga dengan dalil bahwasanya Allah dalam Al-Qur’an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab, sementara seorang suami yang menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya. Bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima’. Juga Rasulullah r pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jarar 1/38,39, Asy-Syarhul Mumti‘ 1/383)
Adapun dilarangnya memasuki masjidil haram, karena Rasulullah s.a.w. diperintahkan Allah agar wilayah masjidil haram menjadi wilayah tanah suci yang terlarang dimasuki orang kafir. Dan dilarangnya ini karena kekafirannya bukan karena najisnya. Itupun masih dikecualikan boleh bagi orang kafir dzimmi yaitu yang menjadi warga dari negara Islam atau dalam perlindungan orang Islam
Dalam sebuah hadits dikatakan :
Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceriakan kepada kami Syarik dari Al-Asy’asy (yaitu Ibnu Siwar) dari Al Hasan dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda : “tidak boleh memasuki masjid kita ini seorang musyrik pun kecuali kafir dzimmi dan pelayan pelayan atau budak budak mereka” (H.R. Ahmad) Hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Imam Ahmad, secara marfu’. Sebagian mengatakan hadits ini mauquf (terputus sanadnya pada sahabat atau tabi’in) sehingga hadits ini dianggap sebagai perkataan (qaul atau atsar) tabi’in saja.
Maka berdasarkan atsar di atas jika orang kafir dzimmi dan pelayannya (yang juga kafir) boleh memasuki masjid, hal ini menunjukkan bahwa bukan fisiknya yang najis melainkan hatinya yang kotor dan tidak suci karena tidak percaya pada Allah
Demikian pula dalam hadits yang lain Rasulullah s.a.w. menerima utusan kaum Nasrani Najran di dalam masjid nya Rasulullah s.a.w. bahkan membolehkan mereka beribadah sementara di situ.
“Bahwasanya utusan suku Tsaqiif datang menemui Nabi s.a.w., maka Nabipun memasukan mereka ke dalam masjid agar hati mereka lebih lembut” (H.R. Ibnu Khuzaimah 2/285 No 1328, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 4/218, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro No 4131 dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir No 8372)
Nabi s.a.w.memasukan sebagian orang musyrik di Masjid, kalau seandainya tubuh orang musyrik najis tentunya Nabi tidak akan membiarkan mereka menajisi mesjid (lihat Al-Mabshuuth 1/47, Badaai’ As-Shanaai’ 1/64).
“Rasulullah s.a.w. mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, maka pasukan tersebut membawa seseorang dari bani Hanifah, orang tersebut bernama Tsumamah bin Utsaal, maka mereka pun mengikatnya di salah satu tiang masjid” (H.R. Bukhari No 457).
Dalam riwayat yang lain Tsumamah diikat di tiang mesjid selama tiga hari, dan pada hari ketiga maka iapun masuk Islam (Lihat H.R. Bukhari No 4114)
Jika orang kafir itu najis niscaya Rasulullah s.a.w. tidak akan mengikat orang kafir itu di tiang masjid.
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan bolehnya mengikat tawanan dan menahannya, serta bolehnya memasukkan orang kafir dalam masjid. Dan Madzhab Imam As-Syafi’i adalah bolehnya memasukan orang kafir dalam masjid dengan ijin seorang muslim, sama saja apakah orang kafir tersebut dari kalangan Ahlul Kitab atau selain mereka” (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 12/87, lihat perkataan Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm 1/54)
Sebagian kaum zhahiriyah ngotot beranggapan bahwa makna ayat tsb adalah najis hakiki yaitu najis fisik dengan berpegang pada hadits berikut :
Asy’as dari Hasan dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Barang siapa berjabat tangan dengan mereka (orang musyrik) hendaklah berwudlu”
Hadits ini tidak jelas sanadnya dan maudhu (palsu). Bahkan hadits ini disangkal oleh hadits lain yang lebih shahih :
Telah mengabarkan kepada kami Ja’far bin ‘Aun telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hammad ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang berjabat tangan dengan seorang (yang beragama) yahudi, nashrani, majusi dan wanita yang haid, maka ia berpendapat tidak harus berwudhu (setelah berjabat tangan) “. (H.R. Darimi No. 1046) Hushain Salim Assad Daroni mengatakan hadits ini sanadnya shahih.
Hadits di atas menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa orang ahlul kitab dan musyrik tidaklah najis.
Jadi kesimpulannya : orang non muslim memakai kaus orang muslim tidak mengapa tidak najis. Adapun mencuci karena bekas dipakai orang lain (baik muslim maupun non muslim) karena bau keringat itu silakan dicuci. Wallahua’lam
https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/06/18/apakah-orang-kafir-itu-najis/
Bernahkah Badan Orang Musyrik Itu Najis?
Pertanyaan : Ustadz , mohon dijelaskan, Tatkala Abu Sufyan mendatangi putrinya Ummu Habibah di Madinah dan hendak duduk di atas tikar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka Ummu Habibah pun segera menggulung tikar tersebut dan menimpali, “Ini adalah tikarnya Rasulullah, dan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak mau engkau duduk di atas tikar milik Rasulullah"
Apakah najis tersebut dalam aqidah atau dalam dzatnya?
Sebagian kaum muslimin di negri kita mengartikan dzatnya , sehingga najis untuk bersalaman atau bersentuhan dengan orang kafir musryik.
Jawab : Allah telah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (QS At-Taubah : 28)
Ada dua pendapat ulama tentang ayat ini
Pendapat pertama : Tubuh dan jasad kaum musyrikin (demikian juga diqiaskan kepada seluruh orang kafir yang lain dari agama apapun) adalah najis. Mereka berargumentasi dengan dhohirnya ayat di atas.
Pendapat kedua : Yang dimaksud dengan ayat di atas bahwasanya kaum musyrikin najis keyakinannya. Jadi najis di sini adalah najis maknawi (abstrak) bukan secara hisii (konkrit). Oleh karenanya Allah menyatakan dalam firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijs (najis), termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maaidah : 90)
Allah menyatakan bahwa perjudian, berhala, dan mengundi nasib adalah najis, maksudnya adalah najis maknawi bukan dzatnya yang najis. Maka demikian pula dengan najisnya kaum musyrikin yaitu najis maknawi, najis aqidahnya dan bukan najis dzatnya.
Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah :
Pertama : Allah menghalalkan sembelihan ahlul kitab, dan juga menghalalkan untuk menikahi wanita ahlul kitab.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah : 5)
Tentunya jika tubuh mereka najis maka tidak mungkin diperbolehkan hasil sembelihan mereka yang tentu saja tersentuh dengan tangan-tangan mereka, apalagi dihalalkan untuk bersetubuh dengan mereka?
Kedua : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memasukan sebagian orang musyrik di Masjid, kalau seandainya tubuh orang musyrik najis tentunya Nabi tidak akan membiarkan mereka menajisi mesjid (lihat Al-Mabshuuth 1/47, Badaai' As-Shnaai' 1/64). Dalil-dalil yang menunjukan akan hal ini diantaranya :
Imam Al-Bukhari memberi judul sebuah bab dalam kitab shahihnya dengan judul بَاب دُخُولِ الْمُشْرِكِ الْمَسْجِدَ "Bab Masuknya seroang musyrik dalam masjid", lalu beliau membawakan sebuah hadits dari Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu, beliau berkata :
بَعَثَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ من بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ له ثُمَامَةُ بن أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ من سَوَارِي الْمَسْجِدِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, maka pasukan tersebut membawa seseorang dari bani Hanifah, orang tersebut bernama Tsumamah bin Utsaal, maka mereka pun mengikatnya di salah satu tiang masjid" (Shahih Al-Bukhari no 457).
Dalam riwayat yang lain Tsumamah diikat di tiang mesjid selama tiga hari, dan pada hari ketiga maka iapun masuk Islam (Lihat Shahih Al-Bukhari no 4114)
Imam An-Nawawi berkata, "Hadits ini menunjukan bolehnya mengikat tawanan dan menahannya, serta bolehnya memasukkan orang kafir dalam masjid. Dan Madzhab Imam As-Syafi'i adalah bolehnya memasukan orang kafir dalam mesjid dengan idzin seorang muslim, sama saja apakah orang kafir tersebut dari kalangan Ahlul Kitab atau selain mereka" (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 12/87, lihat perkataan Imam As-Syafi'i dalam Al-Umm 1/54)
Demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya memberi judul sebuah bab dengan judul :
بَابُ الرُّخْصَةِ فِي إِنْزَالِ الْمُشْرِكِيْنَ الْمَسْجِدَ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ أَرْجَا لإسْلاَمِهِمْ وَأَرَقَّ لِقُلُوْبِهِمْ إِذَا سَمِعُوا الْقُرْآنَ وَالذِّكْرَ
"Bab rukhsohnya memasukan kaum musyrikin ke dalam masjid selain al-masjid al-haroom jika dengan hal itu diharapkan mereka lebih mudah masuk islam dan lebih melembutkan hati mereka tatkala mereka mendengar Al-Qur'an dan dzikir (mau'idzoh)"
Lalu beliau membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Utsmaan bin Abil 'Aash
اَنَّ وَفْدَ ثَقِيفٍ قَدِمُوا على رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْزَلَهُمُ الْمَسْجِدَ لِيَكُونَ أَرَقَّ لِقُلُوبِهِمْ
"Bahwasanya utusan suku Tsaqiif datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabipun memasukan mereka ke dalam mesjid agar hati mereka lebih lembut" (Shahih Ibnu Khuzaimah 2/285 no 1328, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 4/218, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro no 4131 dan At-Thobroni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir no 8372)
Ketiga : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan bejana orang musyrik. Dalam sebuah hadits yang panjang disebutkan …
فَاشْتَكَى إليه الناس من الْعَطَشِ فَنَزَلَ فَدَعَا فُلَانًا ...عَلِيًّا فقال اذْهَبَا فَابْتَغِيَا الْمَاءَ فَانْطَلَقَا فَتَلَقَّيَا امْرَأَةً بين مَزَادَتَيْنِ أو سَطِيحَتَيْنِ من مَاءٍ على بَعِيرٍ لها فَقَالَا لها أَيْنَ الْمَاءُ قالت عَهْدِي بِالْمَاءِ أَمْسِ هذه السَّاعَةَ وَنَفَرُنَا خلوف قالا لها انْطَلِقِي إِذًا قالت إلى أَيْنَ قالا إلى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قالت الذي يُقَالُ له الصَّابِئُ قالا هو الذي تَعْنِينَ فَانْطَلِقِي فَجَاءَا بها إلى النبي صلى الله عليه وسلم وَحَدَّثَاهُ الحديث قال فَاسْتَنْزَلُوهَا عن بَعِيرِهَا وَدَعَا النبي صلى الله عليه وسلم بِإِنَاءٍ فَفَرَّغَ فيه من أَفْوَاهِ الْمَزَادَتَيْنِ أو سَطِيحَتَيْنِ وَأَوْكَأَ أَفْوَاهَهُمَا وَأَطْلَقَ الْعَزَالِيَ وَنُودِيَ في الناس اسْقُوا وَاسْتَقُوا فَسَقَى من شَاءَ وَاسْتَقَى من شَاءَ وكان آخِرُ ذَاكَ أَنْ أَعْطَى الذي أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً من مَاءٍ قال اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ وَهِيَ قَائِمَةٌ تَنْظُرُ إلى ما يُفْعَلُ بِمَائِهَا وأيم اللَّهِ لقد أُقْلِعَ عنها وَإِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْنَا أنها أَشَدُّ مِلْأَةً منها حين ابْتَدَأَ فيها فقال النبي صلى الله عليه وسلم اجْمَعُوا لها فَجَمَعُوا لها من بَيْنِ عَجْوَةٍ وَدَقِيقَةٍ وَسَوِيقَةٍ حتى جَمَعُوا لها طَعَامًا فَجَعَلُوهَا في ثَوْبٍ وَحَمَلُوهَا على بَعِيرِهَا وَوَضَعُوا الثَّوْبَ بين يَدَيْهَا قال لها تَعْلَمِينَ ما رَزِئْنَا من مَائِكِ شيئا وَلَكِنَّ اللَّهَ هو الذي أَسْقَانَا فَأَتَتْ أَهْلَهَا وقد احْتَبَسَتْ عَنْهُمْ قالوا ما حَبَسَكِ يا فُلَانَةُ قالت الْعَجَبُ لَقِيَنِي رَجُلَانِ فَذَهَبَا بِي إلى هذا الذي يُقَالُ له الصَّابِئُ فَفَعَلَ كَذَا وَكَذَا فَوَاللَّهِ إنه لَأَسْحَرُ الناس من بَيْنِ هذه وَهَذِهِ وَقَالَتْ بِإِصْبَعَيْهَا الْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةِ فَرَفَعَتْهُمَا إلى السَّمَاءِ تَعْنِي السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ أو إنه لَرَسُولُ اللَّهِ حَقًّا
"Orang-orang mengeluhkan kepada Nabi tentang rasa haus yang mereka rasakan, maka Nabi pun memanggil Ali bin Abi Tholib dan seorang sahabat yang lain lalu Nabi memerintahkan mereka berdua untuk mencari air. Maka berjalanlah mereka berdua, lalu mereka bertemu dengan seorang wanita yang berada di antara dua tempat air -yang terbuat dari kulit- di atas onta wanita tersebut. Maka mereka berdua pun berkata kepadanya : "Dari mana airnya?", maka wanita tersebut berkata, "Terakhir saya melihat air yaitu kemarin pada saat seperti sekarang ini, dan para lelaki telah pergi meninggalkan kami" (dalam riwayat lain : Mereka berdua berkata, "Mana airnya?", wanita itu berkata, "Tidak ada air untuk kalian". Maka mereka berdua berkata, "Berapa jauh jarak antara tempat keluarga kalian dari tempat air?", wanita itu berkata, "Jarak perjalanan sehari semalam"). Mereka berdua berkata, "Berjalanlah!", sang wanita berkata, "Kemana?", mereka berdua berkata, "Ke Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". Wanita itu berkata, "Apakah dia adalah orang yang disebut sebagai soobi' (orang yang keluar dari adat nenek moyangnya)?". Mereka berdua berkat, "Dialah yang engkau maksudkan".
Merekapun membawa wanita itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mereka mengabarkan kepada Nabi apa yang terjadi. Lalu mereka meminta sang wanita untuk turun dari ontanya, lalu Nabi sallallahu a'laihi wa sallam meminta sebuah bejana kecil, lalu beliau menumpahkan air dari bejana tersebut ke mulut dua tempat air milik sang wanita tersebut (Dalam riwayat lain : Nabi mengambil air dari dua tempat air tersebut lalu beliau berkumur-kumur, lalu menumpahkan kembali kumuran beliau ke kedua tempat air tersebut). Lalu beliau menutup dengan kencang mulut dua tempat air tersebut dan membuka sumbat yang terdapat di bawah dua tempat air yang terbuat dari kulit tersebut sehingga mengalirlah air dari dua tempat air tersebut. Lalu diserukan kepada para sahabat "Minumlah…!! Dan ambillah air..!!" Maka datanglah orang-orang minum dan mengambil air dari dua tempat air tersebut. Orang yang terakhir diberi air adalah seorang yang junub. Nabi memberikan satu bejana air dari dua tempat air tersebut dan berkata kepadanya "Guyurkanlah air ini pada dirimu". Semua kejadian ini disaksikan oleh sang wanita yang sedang berdiri memperhatikan apa yang terjadi dari air miliknya. Demi Allah air tersebut telah tertahan dari sang wanita (sehingga terus mengalir-pen), akan tetapi menyangka bahwasanya air yang tersisa di kedua tempat air tersebut lebih banyak dan lebih penuh daripada sebelumnya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kumpulkan (makanan) untuk wanita ini!". Maka para sahabat pun mengumpulkan makanan untuknya seperti korma 'ajwah, tepung, dan sawiq (makanan dari gandum). Hingga akhirnya mereka mengumpulkan makanan dan diletakkan di atas kain lalu dinaikan ke onta wanita tersebut di hadapan wanita tersebut. Nabipun berkata kepadanya, "Tahukah engkau bahwasanya kami tidak mengurangi airmu sedikitpun?, akan tetapi Allah-lah yang telah memberi air bagi kami". Lalu wanita tersebut pulang ke keluarganya dalam keadaan terlambat, maka mereka pun berkata kepadanya, "Apa yang membuatmu datang terlambat?", Wanita itu berkata, "Suatu keajaiban, aku bertemu dengan dua orang lelaki, lalu mereka membawaku kepada orang yang disebut sebagai soobi' lalu orang itupun melakukan begini dan begitu…, demi Allah orang itu adalah orang yang paling pandai menyihir di antara ini dan itu". Sang wanita memberi isyarat dengan dua jarinya yaitu jari telunjuk dan jari tengah, lalu ia mengangkat kedua jarinya tersebut ke arah langit dan berkata, "Dia adalah sungguh-sungguh utusan Allah" (HR Al-Bukhari no 337)
Pada hadits di atas jelas bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan bejana (tempat) air milik wanita musyrik, yang kemudian wanita inipun akhirnya mengakui kerasulan Nabi.
Kesimpulan :
- Dari tiga dalil di atas sangat jelas bahwasanya orang kafir tidaklah najis tubuh mereka, yang najis adalah aqidah mereka.
- Adapun kisa Ummu Habibah radiallahu 'anhaa maka dibawakan kepada makna bahwasanya ia tidak ingin ayahnya (Abu Sufyan yang tatkala itu masih musyrik) yang najis aqidahnya untuk duduk di dipan (tikar) milik seorang Nabi, karena dipan tersebut khusus ditempati oleh nabi. Dan bukanlah maksud Ummu Habibah ayahnya najis badannya, karena kalau seandainya ayahnya najis badannya tentunya ia akan melarang ayahnya masuk ke dalam rumahnya. Namun ternyata Ummu Habibah tetap membiarkan ayahnya masuk dalam rumahnya, hanya saja ia tidak mengizinkan ayahnya untuk duduk di tikar atau dipan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
- Dari penjelasan ini maka sangatlah jelas kesalahan yang dilakukan oleh sebuah kelompok Jama'ah Islam yang dikenal oleh masyarakat bahwasanya jika ada orang dari luar golongan mereka yang bertamu di rumah mereka maka setelah orang tersebut keluar dari rumah mereka serta-merta merekapun mengepel bekas duduk orang tersebut karena dikhawatirkan membawa najis karena toharohnya tidak mangkul…???. Subhaanallah.. adapun mereka entah mangkul dari mana??, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengepel mesjid yang dimasuki oleh orang musyrik penyembah berhala?, apalagi orang muslim??!! Hanya karena tidak mangkul??. Nabipun tidak pernah memerintahkan sebagian sahabat yang menikah dengan wanita ahlul kitab untuk senantiasa mengepel bekas wanita tersebut??, apalagi mengepel tempat tidurnya –yang tentunya selalu ditiduri oleh suaminya muslim-?, apalagi mengepel dan merinso jasad sang wanita ahlul kitab tersebut karena najis???. Ataukah menurut Islam Jam'ah wanita Ahlul kitab dan orang musyrik thoharohnya mangkul sehingga tidak perlu acara mengepe-ngepel??
Firanda Andirja
www.firanda.com
Daftar Pustaka :
1. Al-Mabshuuth, Syamsuddiin As-Sarokhsi, Daru Ma'rifah Beirut Lubnaan
2. Badaai' As-Shnaai' fi tartiib Asy-Saraai', Al-Kaasaani, Daarul Kutub Al-'Ilmiyyah, cetakan kedua (1406 H-1986 M)
http://firanda.com/index.php/konsultasi/aqidah/109-bernahkah-badan-orang-musyrik-itu-najis
Najis things » Kafir
107. An infidel i.e. a person who does not believe in Allah and His Oneness, is najis. Similarly, Ghulat who believe in any of the holy twelve Imams as God, or that they are incarnations of God, and Khawarij and Nawasib who express enmity towards th e holy Imams, are also najis. And similar is the case of those who deny Prophethood, or any of the necessary laws of Islam, like, namaz and fasting, which are believed by the Muslims as a part of Islam, and which they also know as such. As regards the people of the Book (i.e. the Jews and the Christians) who do not accept the Prophethood of Prophet Muhammad bin Abdullah (Peace be upon him and his progeny), they are commonly considered najis, but it is not improbable that they are Pak. Ho wever, it is better to avoid them.
108. The entire body of a Kafir, including his hair and nails, and all liquid substances of his body, are najis.
109. If the parents, paternal grandmother and paternal grandfather of a minor child are all kafir, that child is najis, except when he is intelligent enough, and professes Islam. When, even one person from his parents or grandparents is a Muslim, the child is Pak (The details will be explained in rule 217).
110. A person about whom it is not known whether he is a Muslim or not, and if no signs exist to establish him as a Muslim, he will be considered Pak. But he will not have the privileges of a Muslim, like, he cannot marry a Muslim woman, nor can he be buried in a Muslim cemetery.
111. Any person who abuses any of the twelve holy Imams on account of enmity, is najis.
http://www.sistani.org/english/book/48/2132/
Najiskah Tubuh Orang Kafir?
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Sekedar bertanya terkait dengan menolong korban kecelakaan pesawat. Pertanyaan ini titipan dari teman-teman yang bekerja di daerah bencana. Apakah tubuh-tubuh korban yang sudah menjadi jenazah itu termasuk najis? Apakah hukum jenazah muslim dan non muslim? Dengan kata lain, apakah tubuh jenazah orang kafir itu termasuk najis? Mohon penjelasan.
Wassalam
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syariat Islam menetapkan bahwa tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci dan bukan merupakan benda najis. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. Al-Isra' : 70)
Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya hukum tubuh-tubuh manusia bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.
Ayat ini juga tidak membedakan agama yang dianut seorang anak Adam, apakah muslim ataukah kafir, apakah dia laki-laki atau wanita, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
Hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir juga suci dan bukan termasuk benda najis. Kalau kita menyentuh kulit mereka, tidak ada kewajiban mencuci 7 kali salah satunya dengan tanah.
Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا المشْرِكونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
1. Bukan Najis Fisik Tapi Aqidah
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
Pertama, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis.
Kedua, bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Maksudnya tubuh orang tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
2. Nabi SAW Menerima Bani Tsaqif di Dalam Masjid
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ أَنْزَلَ النَّبِيُّ وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
3. Air Liur Orang Kafir Tidak Najis
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
d. Pandangan Keliru Aliran Sempalan
Ada aliran yang menyempal dari agama Islam semacam LDII dan yang lainnya. Mereka punya sikap aneh terhadap masalah kenajisan tubuh orang kafir.
Pertama
Mereka memandang bahwa orang-orang yang tidak ikut berbai'at kepada imam mereka, dipandang sebagai orang yang bukan muslim.
Kedua
Mereka memandang bahwa karena bukan muslim, maka tubuh kita yang tidak ikut aliran mereka dianggap benda najis.
Sehingga apabila ada orang di luar jamaah mereka ikut numpang shalat di masjid yang mereka kuasai, sehabis shalat tempat itu langsung dicuci dan dipel dengan air. Alasannya karena tempat itu bekas orang kafir.
Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa sikap aliran sesat itu telah menyalahi dua hal sekaligus :
1. Mengkafirkan Sesama Muslim.
Bahwa semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim, tentu sebuah aqidah yang keliru. Karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaan muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi.
Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.
2. Menganggap Orang Kafir Najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal tidak ada satu pun pandangan ulama yang menyebutkan bahwa tubuh orang kafir itu najis. Dan semua hadits Nabi SAW di atas, seperti menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir, justru di dalam masjid, atau minum susunya Nabi SAW bersama-sama orang kafir, jelas sekali menjadi dasar tidak najisnya tubuh orang kafir.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410987862&=najiskah-tubuh-orang-kafir.htm
Is kafir najis?
http://understanding-islam.org.uk/index.php?option=com_k2&view=item&id=3965%3Ais-kafir-najis&Itemid=107
A. Tubuh Manusia Tidak Najis
Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci dan bukan merupakan benda najis. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. Al-Isra' : 70)
Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya hukum tubuh-tubuh manusia bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.
Ayat ini juga tidak membedakan agama yang dianut seorang anak Adam, apakah muslim ataukah kafir, apakah dia laki-laki atau wanita, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
1. Tubuh Orang Kafir
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana dengan hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir?
Apakah tubuh mereka juga suci dan tidak najis, ataukah mereka itu termasuk benda najis, sehingga kalau kita menyentuh kulit mereka, harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah?
Pertanyaan ini semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا المشْرِكونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
a. Bukan Najis Fisik Tapi Aqidah
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
Pertama, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis. [1]
Kedua, bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Maksudnya tubuh orang tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
b. Nabi SAW Menerima Bani Tsaqif di Dalam Masjid
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ أَنْزَلَ النَّبِيُّ وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
c. Air Liur Orang Kafir Tidak Najis
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
d. Pandangan Keliru Aliran Sempalan
Ada aliran yang menyempal dari agama Islam semacam LDII dan yang lainnya. Mereka punya sikap aneh terhadap masalah kenajisan tubuh orang kafir.
Pertama : Mereka memandang bahwa orang-orang yang tidak ikut berbai'at kepada imam mereka, dipandang sebagai orang yang bukan muslim. Kedua : Mereka memandang bahwa karena bukan muslim, maka tubuh kita yang tidak ikut aliran mereka dianggap benda najis.
Sehingga apabila ada orang di luar jamaah mereka ikut numpang shalat di masjid yang mereka kuasai, sehabis shalat tempat itu langsung dicuci dan dipel dengan air. Alasannya karena tempat itu bekas orang kafir.
Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa sikap aliran sesat itu telah menyalahi dua hal sekaligus :
Pertama, mengkafirkan sesama muslim.
Bahwa semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim, tentu sebuah aqidah yang keliru. Karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaan muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi.
Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.
Kedua, menganggap orang kafir itu najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal tidak ada satu pun pandangan ulama yang menyebutkan bahwa tubuh orang kafir itu najis. Dan semua hadits Nabi SAW di atas, seperti menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir, justru di dalam masjid, atau minum susunya Nabi SAW bersama-sama orang kafir, jelas sekali menjadi dasar tidak najisnya tubuh orang kafir.
2. Tubuh Orang Meninggal
Sedangkan tentang status tubuh manusia yang telah meninggal dunia, umumnya para ulama mengatakan hukumnya suci. Namun ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa tubuh manusia yang telah meninggal dunia itu hukumnya najis.
a. Suci
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jasad orang yang telah wafat itu suci dan bukan merupakan benda najis. Sehingga bila seseorang menyentuh jenazah, baik muslim atau kafir, hukumnya tidak mengapa, dalam arti tidak membatalkan wudhu’ dan juga tidak harus dicuci.
Dasar hujjahnya adalah pernyataan Rasululah SAW yang dengan tegas menyebutkan bahwa seorang muslim itu tidak najis.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kalau dikatakan tidak najis, maksudnya bukan hanya ketika masih hidup, melainkan juga ketika sudah meninggal. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mencium jasad shahabatnya, Utsman bin Ma’dhzun radhiyallahuanhu, setelah meninggal dunia.
قَبَّلَ النَّبِيُّ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُون بَعْدَ المَوْتِ
Nabi SAW mencium Utsman bin Madhz’un radhiyallahuanhu setelah meninggal dunia. (HR. Tirmizy)
Dan kenyataannya Rasulullah SAW menshalatkan jenazah para shahabat di dalam masjid. Misalnya jasad Suhail bin Baidha’ radhiyallahuanhu.
Bila jasad manusia muslim dianggap najis, maka tentu tidak boleh kita bawa ke dalam masjid untuk dishalatkan. Sebab seharusnya masjid itu harus bebas dari benda-benda najis. Dengan dishalatkannya jenazah beliau di dalam masjid, hal itu menunjukkan bahwa jenazah seorang muslim hukumnya suci dan bukan najis.
b. Najis
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam, dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, sehingga disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya.
Demikian juga dengan jenazah orang kafir, dalam pandangan mereka hukumnya tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya. [2]
Namun bila telah dimandikan, maka hukumnya berubah kembali menjadi suci. Sehingga dalam hal ini, jasad seorang muslim akan menjadi suci, lantaran dimandikan. Sedangkan jasad orang kafir, karena tidak perlu dimandikan, maka hukumnya tetap najis.
Tubuh Wanita Yang Sedang Haidh
Yang najis dari tubuh wanita yang sedang haidh atau nifas semata-mata hanya darah yang keluar dari kemaluannya saja. Sedangkan bagian tubuh lainnya yang tidak terkena darah, tentu tidak termasuk benda najis. Sehingga bila seorang menyentuh tubuh wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas, maka tidak membatalkan wudhu', dan juga tidak menularkan najis.
Bukti bahwa tubuh wanita yang sedang haidh tidak najis adalah ketika Rasulullah SAW minum dari bekas minum istri beliau yang sedang haidh. Kalau tubuh wanita yang sedang haidh dianggap nasjis, maka bekas mulutnya pun najis juga.
Wanita yang sedang haidh atau nifas bukan benda najis, namun secara hukum mereka tidak suci dari hadats besar. Sehingga mereka dilarang untuk mengerjakan ibadah tertentu yang mensyaratkan diri suci dari hadats besar.
http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar