Senin, 25 November 2013

Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

Halal dan Haram Dalam Islam
http://hanapimarabahan.blogspot.com/2013/09/menjauhkan-diri-dari-syubhat-karena.html

Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

Salah satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.
FirmanNya: "Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.
Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram. Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.

Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara' (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.

Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan: "Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).
Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang
HARAM dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan mengusir. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu rukhsah yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan manusia, yang dengan menggunakan nama rukhsah (keringanan) itu mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka yang berbuat demikian itu sering menamakan dirinya pendeta, pastor, raja dan orang-orang suci. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.

Sekali-kali tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak, syariatNya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.

Kata Rasulullah dalam pengumumannya itu:"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)
Di zaman Nabi sudah pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang Islam, tetapi ada suatu syubhat sekitar masalah seorang Yahudi dan seorang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya, sehingga dia bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman. Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah s.a.w. mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.

Wahyu Allah berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan betas-kasih. Dan janganlah kamu membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan berbuat dosa. Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak mau bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari perkataan itu, dan Allah maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah! Kamu ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak di hari kiamat? Atau siapakah yang akan mewakili untuk (menghadapi urusan) mereka itu?" (an Nisa': 105-109)

Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi, bahwa riba itu hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi yang lain. Tetapi berhutang kepada lain Yahudi tidaklah terlarang.
Demikianlah seperti yang tersebut dalam Ulangan 23: 19-20: "Maka tak boleh kamu mengambil bunga daripada saudaramu, baik bunga uang, baik bunga makanan, baik bunga barang sesuatu yang dapat makan bunga. Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil bunga."

Sifat mereka yang seperti ini diceritakan juga oleh al-Quran, di mana mereka membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu dipandangnya tidak salah dan tidak berdosa. Al-Quran mengatakan:"Di antara mereka ada beberapa orang yang apabila diserahi amanat dengan satu dinar pun, dia tidak mau menyampaikan amanat itu kepadamu, kecuali kalau kamu terus-menerus berdiri (menunggu); yang demikian itu karena mereka pernah mengatakan. tidak berdosa atas kami (untuk memakan hak) orang-orang bodoh itu, dan mereka juga berkata dusta atas (nama) Allah, padahal mereka sudah mengarti." (Ali-Imran: 75)

Benar mereka telah berdusta atas nama Allah, yaitu dengan bukti, bahwa agama Allah itu pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap rasuINya.Dan yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang merupakan kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan kepada agama Samawi (agama Allah). Sebab budi yang luhur bahkan budi yang sebenarnya mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan universal, sehingga tidak terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk itu.

Perbedaan prinsip antara kita dan golongan badaiyah (primitif) hanyalah dalam hal luasnya daerah budi/akhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu. Sebab soal amanat misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai suatu sikap yang baik dan terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu kabilah. Kalau sudah keluar dari kabilah itu atau lingkungan keluarga, boleh saja berbuat khianat; bahkan kadang-kadang dipandang siasat baik atau sampai kepada wajib.

Pengarang Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan manusia hampir ada persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan mereka lebih baik daripada yang lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika, mereka menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan menciptakan mareka ini sebagai manusia yang berjiwa besar khusus untuk dijadikan sebagai tauladan di mana manusia-manusia lainnya harus menaruh hormat kepadanya.Salah satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia yang tidak ada taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu manusia diantara sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula hanya kamilah yang disebut manusia sesungguhnya dan seterusnya.Kesimpulannya, bahwa manusia primitif didalam mengatur cara pergaulannya dengan golongan lain tidak menggunakan jiwa etika yang lazim seperti yang biasa dipakai dalam berhubungan dengan kawan sesukunya.

Ini merupakan bukti nyata, bahwa etika (akhlak) merupakan fungsi yang paling ampuh guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya untuk menghadapi golongan lain. Oleh karena itu persoalan etika dan larangan tidak akan dapat berlaku (sesuai) melainkan untuk penduduk golongan itu sendiri. Untuk golongan lain, tidak lebih daripada tamu. Justeru itu boleh saja mereka mengikuti tradisi golongan tersebut sekedarnya saja.
Keadaan Terpaksa Membolehkan Yang Terlarang
ISLAM mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram; dan apa yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga; dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan prinsip-prinsipnya di atas.

Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.

Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)

Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram.Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: "Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang."

Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan kata-kata ghaira baghin wala 'aadin (tidak sengaj 3 dan tidak melewati batas).Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya: tidak melewati batas ketentuan hukum.

Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu: adh-dharuratu tuqaddaru biqadriha (dharurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau mempermudah dharurat.

Islam dengan memberikan perkenan untuk melakukan larangan ketika dharurat itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu dan kaidah-kaidahnya yang bersifat kulli (integral). Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan memperingan, seperti cara yang dilakukan oleh ummatummat dahulu.

Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firmanNya:"Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia tidak menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu." (al-Baqarah: 185)

"Allah tidak menghendaki untuk memberikan kamu sesuatu beban yang berat, tetapi ia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya kepadamu supaya kamu berterimakasih." (al-Maidah: 6)

"Allah berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, karena manusia itu dijadikan serba lemah." (an-Nisa': 28)

Dokumentasi foto pengunjung Counter Jubah








Kamis, 07 November 2013

Lingkungan dan Batasan Mesjid


Hukum Jualan di Lingkungan Masjid

oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.PI.

http://pengusahamuslim.com/hukum-jualan-di-1435#.UnxgM3B7LwI

Pertanyaan, “Apa hukum berjualan di halaman masjid?”

Jawaban, “Sesungguhnya, halaman dan pelataran masjid serta daerah kanan dan kiri masjid, demikian pula bangunan yang ditambahkan ke masjid serta semua yang bersambung dengan masjid, baik berada di luar atau pun di dalam bangunan masjid, itu dinilai sebagai lingkungan masjid menurut pendapat yang paling kuat. Adapun ketentuan yang berlaku untuk lingkungan masjid itu sama dengan ketentuan yang berlaku untuk masjid, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan transaksi jual beli di tempat tersebut atau pun mengumumkan barang yang hilang. Ketentuan ini berlaku, baik lingkungan masjid tersebut digabungkan kepada masjid secara permanen --yang dibuktikan dengan adanya bangunan atau pagar yang mengelilingi lingkungan masjid-- atau pun tidak dikelilingi dengan pagar asalkan batas-batas lingkungan masjid telah diketahui secara pasti.

Di lingkungan masjid tersebut, kita diperbolehkan shalat dengan bermakmum imam yang ada di dalam masjid, asalkan bangunan pokok masjid telah dipenuhi dengan orang-orang yang mengerjakan shalat. Demikian pula, dituntunkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid di lingkungan masjid dan ketentuan-ketentuan lain terkait dengan masjid. Inilah aplikasi nyata dari kaidah fikih,

الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ

'Pada lingkungan suatu tempat berlaku ketentuan yang juga berlaku untuk tempat tersebut.' (Al-Asybah wan Nazhair, karya As-Suyuthi, hlm. 125)

Landasan berpijak hadis tersebut adalah sabda Nabi,

أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

'Ingatlah bahwa setiap raja itu memiliki daerah larangan dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang Allah haramkan.' (H.r. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, jika pelataran dan halaman yang disebut dengan pelataran dan halaman masjid itu ternyata terpisah dari masjid dengan adanya jalan atau tempat lalu-lalang, artinya seseorang itu tidak mungkin memasuki pelataran masjid kecuali setelah dinilai keluar dari masjid, maka dalam kondisi semisal ini, hal-hal yang terlarang untuk dilakukan di masjid boleh dilakukan di tempat tersebut karena daerah tersebut dinilai telah terpisah dari masjid secara realita sehingga penamaan 'pelataran masjid' atau pun 'halaman masjid' untuk daerah ini hanya sekadar nama yang tidak didukung oleh realita. Oleh karena itu, ketentuan yang berlaku untuk daerah tersebut berbeda dengan ketentuan yang berlaku untuk daerah yang memang secara permanen dinilai bersambung dengan masjid.” (ferkous)

Catatan:

Dari uraian di atas, kita bisa membuat kesimpulan tentang status hukum halaman masjid.

Jika halaman masjid tersebut dikelilingi oleh pagar masjid maka daerah yang terletak di dalam pagar masjid itu terhitung masjid.
Jika halaman masjid tersebut tidak dikelilingi oleh pagar masjid maka halaman masjid tersebut berstatus sebagai lingkungan masjid yang terlarang mengadakan transaksi jual beli di dalamnya, kecuali jika ada hal-hal yang menunjukkan bahwa halaman masjid tersebut sudah tidak lagi dinilai sebagai lingkungan masjid, semisal adanya jalan setapak yang memisahkan antara masjid dengan halaman tersebut. Dalam kondisi demikian, halaman masjid tidak dinilai sebagai lingkungan masjid, meski daerah tersebut dinamai dengan sebutan "halaman masjid".
Artikel www.PengusahaMuslim.com


Batasan Masjid

November 27th 2009 by Abu Muawiah

http://al-atsariyyah.com/batasan-masjid.html

Tanya:
Assalamualaikum ustadz. . .
berdagang dimasjid batasan sampai mana aja ? boleh ga kalo diemperannya?
kalo sholat jum at emperannya dipakai untuk sholat, kalau emperannya tidak dipakai untuk sholat boleh ga buat dagang? jazakalloh khoiron katsir.

“abu hana” <abuhana8@yahoo.co.id>

Jawaban:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Dalam hal ini ada pembahasan di kalangan ulama: Apakah ar-rahbah itu merupakan bagian dari masjid?
Ar-rahbah adalah bangunan atau halaman atau tempat yang luas yang terletak di depan pintu masjid dan tidak terpisah dari masjid. Lihat Fathul Bari (13/155) dan Umdah Al-Qari karya Al-Aini (24/245)
Kalau kita lihat dari definisi di atas, yang termasuk ar-rahbah pada masjid-masjid sekarang adalah teras yang bersambung dengan masjid ataukah halamannya yang juga ditegel dan bersambung dengan masjid baik lantainya maupun atapnya, baik dipakai untuk shalat maupun tidak.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah ar-rahbah masuk bagian dari masjid ataukah tidak. Jika dia termasuk bagian masjid maka berarti berlaku padanya hukum-hukum masjid seperti: Tidak boleh berjualan di situ, tidak boleh mencari barang yang hilang di situ, adanya shalat tahiyatul bagi yang mau duduk, tidak membatalkan i’tikaf  jika berada di situ, dan seterusnya.
Pendapat yang kuat di kalangan ulama adalah bahwa ar-rahbah merupakan bagian dari masjid -yang berlaku padanya hukum-hukum masjid- selama dia masih bersambung (lantai atau atapnya) dengan masjid. Jika dia terpisah dari masjid maka dia bukan bagian dari masjid dan tidak mendapatkan hukum masjid.
Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Zurarah bin Abi Aufa, Asy-Syafi’i, Imam Al-Bukhari, dan selain keduanya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari dan Ibnu Al-Munayyir. Wallahu a’lam bishshawab. Lihat Al-Majmu’ (6/507) dan Al-Fath (13/156)


Apa Hukum Jual Beli di Masjid?

June 9, 2010

http://www.konsultasisyariah.com/jual-beli-di-masjid/

Pertanyaan:

Bagaimana hukum jual-beli di mesjid? Manakah yang termasuk batas-batas mesjid?


Jawaban:

Hukum jual-beli di mesjid adalah haram, berdasarkan hadits-hadits berikut,

عَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.’” (Tirmidzi: 1232 dan beliau berkata, “Hasan gharib,” Abu Daud: 400, ad-Darimi: 1365, Shahih Ibnu Hibban: 1650, dinilai shahih oleh al-Albani dan ar-Arnauth dalam Shahih Ibnu Hibban)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّرَاءِ وَ الْبَيْعِ فِي الْمَسْجِد
“Nabi shallallahu ‘alaiihi wa sallam melarang jual-beli di mesjid.” (Ibnu Majah : 749)

Imam Syaukani berkata, “Dua hadits ini menunjukkan haramnya jual-beli, bersyair, dan mengadakan halaqah sebelum shalat. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan ini hanya makruh.

Al-Iraqi berkata, “Ulama telah bersepakat bahwa jual-beli yang telah terjadi di mesjid tidak boleh dibatalkan.” Demikian pula kata al-Mawardi.

Engkau mengetahui bahwa memalingkan (hukum) larangan kepada makruh membutuhkan qarinah (dalil pendukung) yang memalingkan dan makna yang hakiki yaitu haram, menurut orang-orang yang berpendapat bahwa larangan itu pada hakikatnya adalah untuk pengharaman, dan ini adalah benar.

Juga ijma’ (kesepakatan) mereka, bahwa jual-beli yang telah terjadi itu sah dan tidak boleh dibatalkan, tidak bertentangan dengan larangan jual-beli (maksudnya, jual-beli tersebut tetap sah tetapi haram, pelakunya berdosa, pent). Maka, hal itu tidak boleh dijadikan sebagai qarinah guna memalingkan larangan kepada hukum makruh.

Sebagian murid asy-Syafi’i berpendapat bahwa jual-beli di mesjid tidak makruh. Hadits-hadits tadi membantah mereka. Sedangkan murid-murid Abu Hanifah membedakan, bahwa jual-beli yang ramai itu dibenci, sedangkan yang tidak ramai itu tidak dibenci. Pembedaan ini tidak ada dalilnya. (Nailul Authar: 2/455, no. Hadits 641)

Imam Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli ilmi membolehkan jual-beli di mesjid.”

Al-Allamah Mubarakfuri, dalam syarahnya, berkata, “Saya tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan demikian. Bahkan hadits-hadits bab merupakan hujjah (membantah) orang yang membolehkan.” (Tuhfatul Ahwadzi)

Syaikh Salim al-Hilali dalam al-Manahi asy-Syari’iyyah: 1/371 menyimpulkan:

Jual-beli di mesjid adalah haram, sebab mesjid adalah pasar akhirat. Termasuk di antara adab-adab di mesjid adalah menyucikannya dari perkara dunia dan apa pun yang tidak ada kaitannya dengan akhirat.
Larangan jual-beli di mesjid tidak mengharuskan batalnya akad. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya membuat bab “Perintah untuk Melaknat kepada Orang Yang Berjual-Beli di Mesjid Agar Tidak Beruntung Dagangannya”. Ini menunjukkan bahwa jual beli itu sah, meskipun orang yang melakukan berdosa. Katanya lagi, “Kalaulah jual-beli tidak sah, maka sabda beliau ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu’ tidak ada artinya.”
Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi 5, tahun ke-4 1425 H.

(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)



Berjualan di Lingkungan Masjid, Bolehkah? diambil dari: Baturaja Online

Ditulis Oleh: Baturaja Online pada 10 Februari 2012
http://baturajaonline.com/al-manhaj/berjualan-di-lingkungan-masjid-bolehkah/#.UnxhunB7LwI

Pertanyaan, “Apa hukum berjualan di halaman masjid?” Jawaban, “Sesungguhnya, halaman dan pelataran masjid serta daerah kanan dan kiri masjid, demikian pula bangunan yang ditambahkan ke masjid serta semua yang bersambung dengan masjid, baik berada di luar atau pun di dalam bangunan masjid, itu dinilai sebagai lingkungan masjid menurut pendapat yang paling kuat. Adapun ketentuan yang berlaku untuk lingkungan masjid itu sama dengan ketentuan yang berlaku untuk masjid, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan transaksi jual beli di tempat tersebut atau pun mengumumkan barang yang hilang. Ketentuan ini berlaku, baik lingkungan masjid tersebut digabungkan kepada masjid secara permanen –yang dibuktikan dengan adanya bangunan atau pagar yang mengelilingi lingkungan masjid– atau pun tidak dikelilingi dengan pagar asalkan batas-batas lingkungan masjid telah diketahui secara pasti. Di lingkungan masjid tersebut, kita diperbolehkan shalat dengan bermakmum imam yang ada di dalam masjid, asalkan bangunan pokok masjid telah dipenuhi dengan orang-orang yang mengerjakan shalat. Demikian pula, dituntunkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid di lingkungan masjid dan ketentuan-ketentuan lain terkait dengan masjid. Inilah aplikasi nyata dari kaidah fikih, الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ ‘Pada lingkungan suatu tempat berlaku ketentuan yang juga berlaku untuk tempat tersebut.’ (Al-Asybah wan Nazhair, karya As-Suyuthi, hlm. 125) Landasan berpijak hadis tersebut adalah sabda Nabi, أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ ‘Ingatlah bahwa setiap raja itu memiliki daerah larangan dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang Allah haramkan.’ (H.r. Bukhari dan Muslim) Akan tetapi, jika pelataran dan halaman yang disebut dengan pelataran dan halaman masjid itu ternyata terpisah dari masjid dengan adanya jalan atau tempat lalu-lalang, artinya seseorang itu tidak mungkin memasuki pelataran masjid kecuali setelah dinilai keluar dari masjid, maka dalam kondisi semisal ini, hal-hal yang terlarang untuk dilakukan di masjid boleh dilakukan di tempat tersebut karena daerah tersebut dinilai telah terpisah dari masjid secara realita sehingga penamaan ‘pelataran masjid’ atau pun ‘halaman masjid’ untuk daerah ini hanya sekadar nama yang tidak didukung oleh realita. Oleh karena itu, ketentuan yang berlaku untuk daerah tersebut berbeda dengan ketentuan yang berlaku untuk daerah yang memang secara permanen dinilai bersambung dengan masjid.” (ferkous) Catatan: Dari uraian di atas, kita bisa membuat kesimpulan tentang status hukum halaman masjid. Jika halaman masjid tersebut dikelilingi oleh pagar masjid maka daerah yang terletak di dalam pagar masjid itu terhitung masjid. Jika halaman masjid tersebut tidak dikelilingi oleh pagar masjid maka halaman masjid tersebut berstatus sebagai lingkungan masjid yang terlarang mengadakan transaksi jual beli di dalamnya, kecuali jika ada hal-hal yang menunjukkan bahwa halaman masjid tersebut sudah tidak lagi dinilai sebagai lingkungan masjid, semisal adanya jalan setapak yang memisahkan antara masjid dengan halaman tersebut. Dalam kondisi demikian, halaman masjid tidak dinilai sebagai lingkungan masjid, meski daerah tersebut dinamai dengan sebutan “halaman masjid”. Oleh Ust. Aris Munandar, S.S., M.A. -

http://baturajaonline.com/al-manhaj/berjualan-di-lingkungan-masjid-bolehkah/#.UnxhunB7LwI



Rabu, 06 November 2013

Non Muslim Masuk Mesjid Baiturrahman ?


Bolehkah Orang Kafir Masuk Masjid?

by Ammi Nur Baits June 9, 2013
http://www.konsultasisyariah.com/bolehkah-orang-kafir-masuk-masjid/

Non-Muslim Masuk Masjid

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa hukumnya orang Nasrani atau orang selain muslim masuk ke dalam masjid?

Dari: Taufiq

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ulama berbeda pendapat tentang hukum orang kafir masuk masjid. Berikut diantaranya:

Pertama, orang kafir tidak boleh masuk masjid, baik masjid di tanah haram (Mekah) maupun masjid di luar tanah haram. Ini adalah pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat beliau.

Hanya saja, sebagian ulama hambali membolehkan jika ada maslahat untuk kepentingan masjid, seperti memperbaiki bangunan atau semacamnya.

Al-Buhuti – ulama madzhab hambali – mengatakan,

لا يجوز لكافر دخول مسجد الحل ولو بإذن مسلم؛ لقوله تعالى: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ  سورة التوبة, ويجوز دخولها -أي مساجد الحل- للذمي, ومثله المعاهد والمستأمن إذا استؤجر لعمارتها؛ لأنه لمصلحته
Tidak boleh bagi orang kafir untuk masuk masjid meskipun di selain tanah haram, sekalipun dengan izin orang muslim. Berdasarkan firman Allah, yang artinya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir..” (QS. At-Taubah: 18). Yang boleh masuk masjid  adalah orang kafir zimmi, termasuk mu’ahid dan musta’min, ketika mereka dipekerjakan untuk memperbaiki masjid, karena ini untuk kemaslahatan masjid (Kasyful Qana’, 6:265).

Di antara dalil mereka yang mengambil pendapat ini adalah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah melihat ada orang majusi di dalam masjid ketika beliau sedang berkhutbah di atas mimbar. Kemudian Ali turun, dan memukulnya serta menyuruhnya keluar. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Karena jika orang muslim yang junub tidak boleh masuk masjid maka orang musyrik lebih layak dilarang masuk masjid (Mathalib Uli an-Nuha, 2/617).

Kedua, orang kafir boleh masuk masjid, jika diharapkan dia bisa masuk Islam dengan melihat aktivitas kaum muslimin di masjid atau mendengar ceramah. Ini pendapat al-Qodhi Abu Ya’la – ulama hambali –. Dengan syarat, mendapat izin dari salah satu orang muslim. Keterangan beliau dinukil dalam Mathalib Ilin Nuha,

يجوز لكافر دخول المسجد بإذن مسلم إن رجي منه إسلام لأنه -صلى الله عليه وسلم- قدم عليه وفد أهل الطائف، فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم
Boleh bagi orang kafir untuk masuk masjid dengan izin dari seorang muslim, jika diharapkan dia masuk Islam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu dari Thaif, dan beliau menyuruh mereka untuk singgah di dalam masjid, dan mereka belum masuk islam (Mathalib Uli an-Nuha, 2:617).

Ketiga, larangan masuk masjid untuk orang kafir, hanya berlaku untuk Masjidil Haram dan bukan masjid lainnya.  Ini adalah pendapat Imam asy-Syafii, Ibnu Hazm, al-Albani, Ibnu Utsaimin dan beberapa ulama lainnya.

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini,

1. Firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini (tahun 9 H).” (QS. At-Taubah: 28)

Al-Qurthubi menukil keterangan Imam asy-Syafii yang mengatakan,

الآية عامة في سائر المشركين خاصة في المسجد الحرام, ولا يمنعون من دخول غيره فأباح دخول اليهود والنصارى في سائر المساجد
Ayat ini mencakup umum seluruh orang musyrik, terutama ketika masuk Masjidil Haram. Dan mereka tidak dilarang untuk masuk masjid lainnya. Karena itu, Dia membolehkan orang yahudi atau nasrani masuk ke masjid-masjid lainnya (Tafsir al-Qurthubi, 8:105).

Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Hazm, dalam al-Muhalla beliau mengatakan,

فخص الله المسجد الحرام، فلا يجوز تعديه إلى غيره بغير نص
Allah mengkhususkan hukum untuk Masjidil Haram, karena itu tidak boleh diberlakukan untuk masjid yang lain tanpa dalil (al-Muhalla, 3:162).

2. Praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Diantaranya, keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، سَيِّدُ أَهْلِ اليَمَامَةِ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ»، فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ المَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ المَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus beberpaa penunggang kuda ke arah Nejd, tiba-tiba utusan itu kembali dengan membawa tawanan yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku daerah Yamamah. Merekapun mengikatnya di salah satu tembok Masjid Nabawi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati Tsumamah, lalu beliau memerintahkan, “Lepaskan Tsumamah.” Kemudian Tsumamah menuju kebun kurma dekat masjid, beliau mandi lalu masuk masjid, dan menyatakan masuk Islam dengan bersyahadat. Laa ilaaha illallaah muhammadur Rasulullah. (HR. Bukhari 2422 dan Muslim 1764) .

Insya Allah inilah pendapat yang lebih kuat, berdasarkan praktek makna teks ayat dan praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Khatib asy-Syarbini mengatakan,

وثبت أنه – صلى الله عليه وسلم – أدخل الكفار مسجده، وكان ذلك بعد نزول ” براءة “، فإنها نزلت سنة تسع، وقدم الوفد عليه سنة عشر وفيهم وفد نصارى نجران، وهم أول من ضرب عليهم الجزية فأنزلهم مسجده وناظرهم في أمر المسيح وغيره
Terdapat riwayat yang shahih, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 hijriyah. Sementara beliau menerima banyak tamu pada tahun 10 hijriyah, dan diantara mereka ada orang nasrani Najran. Dan mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang Al-Masih dan yang lainnya. (Mughni al-Muhtaj, 6:68).

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com





Bolehkah Kafir Harbi Masuk Masjid?

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/03/bolehkah-kafir-harbi-masuk-masjid/

Soal:
Bagaimana hukum kaum kafir harbi fi’lân masuk masjid? Bagaimana dengan argumen yang menyatakan, bahwa Nabi mengikat Tsumamah, yang kafir musyrik, di Masjid Nabawi? Di sisi lain, para Khalifah setelah Nabi saw. melarang orang kafir masuk masjid. Bagaimana mendudukkan posisi mereka?
Jawab:
Sebelum membahas tentang hukum kafir harbi fi’lan masuk masjid, akan dijelaskan tentang pandangan para fukaha tentang hukum orang kafir secara umum masuk masjid. Dalam hal ini ada empat mazhab. Pertama: Orang kafir boleh masuk masjid, bahkan Masjid al-Haram sekalipun. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Alasannya, karena Nabi saw. pernah menerima delegasi Tsaqif di masjid Baginda, sementara mereka masih kafir. Alasan lain, kenajisan mereka sesungguhnya bukanlah najis fisik, melainkan terletak pada keyakinan mereka sehingga tidak bisa mencemari masjid. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini (QS at-Taubah [9]: 28).
Mereka menyatakan, bahwa maksudnya adalah, “Jika mereka masuk dengan sombong, untuk menguasai atau telanjang (tidak menutup aurat), sebagaimana tradisi mereka pada zaman Jahiliyah.” Jika tidak, maka tidak ada larangan.1
Kedua: mereka boleh masuk masjid dengan izin kaum Muslim, kecuali Masjid al-Haram, dan setiap masjid di Tanah Haram. Ini pendapat mazhab as-Syafii.2 Dalam salah satu riwayat juga dinyatakan, bahwa Imam Ahmad berpendapat sama. Sebagian mazhab Hanbali juga sependapat dengan pandangan ini. Ibn Qudamah, dalam kitabnya, Al-Mughni, berpendapat, “Adapun masjid di Tanah Halal, mereka tidak boleh memasukinya, kecuali dengan izin kaum Muslim..Jika mereka diizinkan untuk memasukinya maka menurut mazhab yang sahih dibolehkan. Sebab, Nabi saw. pernah didatangi delegasi penduduk Thaif (Bani Tsaqif). Baginda pun mempersilahkan mereka singgah di masjid, sebelum mereka masuk Islam.”
Said bin al-Musayyib berkata, “Abu Sufyan pernah masuk Masjid Nabawi saat masih musyrik. ‘Umair bin Wahab juga pernah masuk Masjid Nabawi, saat Nabi ada di sana, dan dia hendak menyerang Baginda, kemudian Allah menganugerahkan Islam kepadanya.” 3
Ketiga: mereka tidak boleh sama sekali masuk masjid. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain. Alasannya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah, karena Abu Musa al-Asy’ari pernah menemui Umar, selaku khalifah, dengan membawa surat. Umar berkata kepada Abu Musa, “Panggil orang yang menulisnya, untuk membacakannya.” Abu Musa menjawab, “Dia tidak boleh masuk masjid.” Umar bertanya, “Mengapa?” Abu Musa menjawab, “Karena dia Kristen.” Ini menjadi argumen di kalangan sahabat dan mereka sepakat. Selain itu, juga dengan alasan, bahwa hadats junub, haid dan nifas saja dilarang untuk tinggal di masjid, maka hadats syirik tentu lebih tidak boleh lagi.4
Al-Qurthubi juga menisbatkan pendapat terakhir ini pada pendapat penduduk Madinah:
Berdasarkan hukum itulah, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ketika menjadi khalifah, menulis surat kepada para pejabatnya di daerah..Pendapat tersebut diperkuat dengan firman-Nya, “Di rumah-rumah (Allah) itu, Allah mengizinkannya untuk diagungkan, dan disebut nama-Nya.” (QS an-Nur [24]: 36) Masuknya kaum kafir di sana bertentangan dengan upaya mengagungkan rumah Allah. Dalam Shahih Muslim dan lain-lain juga dinyatakan, “Bahwa masjid-masjid ini tidak boleh ada sedikitpun kencing dan kotoran..” Padahal orang kafir tidak terhindar dari semuanya itu. Baginda Nabi saw. juga bersabda, “Masjid tidak dihalalkan untuk orang yang haid dan junub.” Orang kafir itu masuk dalam kategori junub. Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS at-Taubah [9]: 28). Allah menyebut mereka najis, apakah zatnya yang najis ataukah dijauhkan dari jalan hukum Allah. Mana saja dari keduanya, hukum menjauhkan mereka dari masjid tetap wajib, karena ‘illat-nya adalah najis, dan faktanya ada pada diri mereka, sementara kesucian itu ada di masjid.. 5
Keempat: mereka dilarang masuk masjid, kecuali untuk aktivitas yang bersifat darurat. Ini adalah pendapat mazhab Maliki. Ash-Shawi, dalam Hâsyiyah as-Shâwi, menyatakan, “Keterangan: Orang kafir juga dilarang masuk masjid sekalipun diizinkan oleh orang Islam, kecuali karena ada aktivitas yang bersifat darurat..”6
Al-Khurasyi menyatakan, “Orang kafir, baik pria maupun wanita, haram masuk masjid jika tidak diizinkan oleh orang Islam. Bahkan jika diizinkan sekalipun tetap tidak boleh, kecuali terpaksa, seperti untuk membangun masjid, saat tidak ada seorang Muslim pun yang bisa, atau orang kafir tersebut lebih terpercaya bangunannya.”7
Berdasarkan pendapat mazhab di atas, bisa disimpulkan, bahwa hukum memasuki Masjid al-Haram jelas berbeda dengan masjid yang lain. Orang kafir, baik Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun musyrik, baik yang menjadi Ahli Dzimmah maupun Ahl Harb, haram masuk Masjid al-Haram. Mengenai argumentasi mazhab Hanafi, baik tentang masuknya orang kafir ke Masjid Nabawi maupun penarikan hukum dari QS at-Taubah: 28 untuk membolehkan masuk ke Masjid al-Haram, jelas tidak relevan.
Adapun masjid lain, bukan Masjid al-Haram dan masjid di Tanah Haram lainnya, hukumnya berbeda. Secara umum, pendapat fukaha menyatakan, bahwa kaum kafir, baik Ahli Kitab maupun musyrik, boleh masuk masjid—baik dengan syarat ada izin dari kaum Muslim atau kepentingan yang mendesak—sesungguhnya bisa dikembalikan pada satu hal, yaitu pendapat kepala negara (Khalifah).
Dengan demikian, tindakan Nabi saw. menerima Abu Sufyan dari Makkah dan delegasi Bani Tsaqif dari Thaif di Masjid Nabawi, mengikat Tsumamah saat menjadi tawanan Perang Badar juga di Masjid Nabawi, dan membiarkan Umair bin Wahab masuk saat Baginda ada di dalam masjid, jelas tidak bertentangan dengan keputusan Umar. Sebab, masing-masing adalah kepala negara pada zamannya, dan masing-masing berhak memutuskan apa yang dia anggap tepat dan tidak. Saat Nabi saw. membuat keputusan seperti itu pada zamannya, cahaya Islam belum sekuat pada zaman Umar. Dengan berada di masjid, orang-orang kafir itu bisa menyaksikan langsung cahaya Islam dari dekat. Selain itu, masjid pada zaman Nabi juga tidak hanya difungsikan untuk ibadah, tetapi juga kegiatan administrasi, politik dan pemerintahan. Pada zaman Umar, saat cahaya Islam telah bersinar terang, pendekatan kepada orang kafir dengan mengizinkan mereka masuk masjid tersebut tidak diperlukan lagi. Di sisi lain, Umar sendiri sangat mengangungkan masjid sehingga dijaga betul agar tidak ternoda oleh kotoran sedikit pun. Dengan begitu, kepentingan Islam dan kaum Muslim yang menjadi pandangan Khalifahlah yang menjadi alasan mengapa orang kafir dibolehkan masuk masjid.
Adapun kaum kâfir harbî Fi’lân, jika masuk ke negeri kaum Muslim dengan jaminan keamanan (al-amân) untuk mempelajari Islam, lalu masuk masjid untuk mendengarkan ajaran Islam, maka dibolehkan. Namun, jika dia datang di negeri kaum Muslim bukan untuk mempelajari Islam, lalu masuk masjid hanya untuk melihat keindahan dan kebesarannya, menjadikannya sebagai kedok di hadapan umat Islam untuk mengelabuhi permusuhannya kepada Islam dan umatnya serta melanggengkan penjajahannya terhadap negeri mereka, meski dia datang dan masuk ke sana dengan jaminan keamanan (al-amân), maka hukumnya tetap haram. Allah menyatakan:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya, kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat (QS al-Baqarah [2]: 114).
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Ibn ‘Abidin, Raddu al-Mukhtâr ‘alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, VI/ 691.
2 Abu Zakariyya an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/281.
3 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, XIII/202.
4 Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Ibid, XIII/202.
5 Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, VIII/103.
6 Ash-Shâwi, Hâsyiyah as-Shâwi ‘ala as-Syarh as-Shaghîr, I/160.
7 Al-Khurasyi, Manhu al-Jalîl Syarah Mukhtashar Khalîl, Dâr Shadir, I/71.





Perbedaan antara kafir harbi dan dzimmi serta hukum keduanya

Baca Selengkapnya Di: http://www.muslimsays.com/2013/05/perbedaan-antara-kafir-harbi-dan-dzimmi-serta-hukum-keduanya.html#ixzz2jvZiW7Cd

Perbedaan antara kafir harbi dan kafir dzimmi
Pada hakikatnya, manusia terbagi dua golongan yaitu orang kafir dan orang muslim. Pada zaman Rasulullah SAW, ada beberapa orang kafir yang memusuhi ummat Islam dan beberapa lagi tidak mengusik ketenangan ummat Islam.
Istilah kafir harbi dan dzimmi adalah refleksi atau hasil dari dua interaksi orang kepada ummat muslim pada zaman Rasulullah SAW.
Kafir harbi adalah setiap orang kafir yang tidak masuk dalam perjanjian (dzimmah) dengan kaum Muslim, baik ía seorang mu’ahid atau musta’min ataupun bukan mu’ahid dan bukan musta’min (An-Nabhani, 1994: 232). Mu’ahid adalah orang kafir yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian (mu’ahidah) dengan negara Khilafah. Musta’min adalah orang yang masuk ke dalam negara lain dengan izin masuk (al-amân), baik ía Muslim atau kafir harb (An-Nabhani, 1994:
234).
Kafir harbi, yang kadang disebut juga dengan ahl al-harb atau disingkat harb saja (Haykal, 1996:1411), dikategorikan lagi menjadi kafir harbi hukman (kafir harbi secara hukum/ de jure) dan kafir harbi haqiqatan/kafir harbi fi’lan (kafir harbi secara nyata/de facto). Kategorisasi ini didasarkan pada kewarganegaraan orang kafir dengan tempat berdomisili yang tetap. Jika Khilafah mengadakan perjanjian dengan suatu negara kafir, warga negaranya disebut kaum mu’ahidin (An-Nabbani, 1994: 232). Negara mi disebut ad- dawlah al -mu’ähidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Khilafah). Istilah lain kafir mu ‘ahid, sebagaimana disebut oleh al-Qayyim dalam kitabnya, Ahkam Ahl Adz-Dzimmah,adalah ahl al-hudnah atau ahl ash-shulh (Ibn al-Qayyim, 1983: 475), atau disebut juga kaum al-muwadi’in (Hayqal, 1996: 701). Orang yang tergolong, mu’âhid ini tergolong kafir harbi hukman. Sebab hanya berakhirnya perjanjian dengan negara Khilafah, ía akan kembali menjadi kafir harbi sebagaimana kafir harbi lainnya (kafir harbi fi’lan), yang negaranya tidak mengikat perjanjian dengan negara Khilafah.
Hubungan umat Islam dengan kafir harbi hukman didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang ada. Hanya saja, dalam interaksi ekonomi, umat Islam (baca: Daulah Islamiyah) tidak boleh menjual senjata atau sarana-sarana militer kepada kafir harbi hukman—jika hal ini dapat memperkuat kemampuan militer mereka sedemikian sehingga akan mampu mengalahkan umat Islam. Jika tidak sampai pada tingkat tersebut, umat Islam boleh menjual senjata atau alat-alat tempur kepada mereka, khususnya ketika Daulah Islamiyah mampu memproduksi berbagai persenjataan militer dan menjualnya ke luar negeri sebagaimana yang diLakukan o(eh negaranegara adidaya saat ini). Jika dalam perjanjian ada pasal yang membolehkan penjualan senjata yang dapat memperkuat kemampuan militer kaum kafir harbi hukman sehingga mereka mampu mengalahkan umat Islam, pasal itu tidak boleh dilaksanakan. Sebabnya, pasal itu bertentangan dengan hukum syariat. Padahal, setiap syarat yang bertentangan dengan hukum syariat adalah batal dan tidak boleh dijalankan (An-Nabhani, 1990: 291-292; 1994: 232).
Adapun kafir harbi haqiqatan adalah warga negara dan negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan Daulah Islamiyah. Negaranya disebut ad-dawlah al-kâfirah ál-hárbiyàh (negara kafir harbi yang memerangi umat Islam). Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, ia disebut ad-dawlah al-kafirah al -harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata). Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam, Ia dikategorikan sebagai ad-daw!ah al-kâfirah alharbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam) (AnNabbani, 1994: 233).
Perbedaan hukum di antara kedua negara ini adalah, jika sebuah negara kafir masuk kategori pertama, yakni sedang berperang secara nyata dengan dengan umat Islam, maka asas interaksinya adalah interaksi perang; tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Perjanjian hanya boleh ada setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warga negaranya tidak diberi izin masuk ke dalam negara Khilafah, kecuali jika dia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam), atau untuk menjadi dzimmi dalam naungan negara Khilafah. Jika warga negara dari negara kafir ini tetap masuk ke negara Khilafah, bukan untuk mendengar kalamullah, juga bukan untuk menjadi dzimmi, maka jiwa dan hartanya halal, yaitu dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil (AnNabhani, 1990: 293). Sebaliknya, jika termasuk kategori kedua, yaitu tidak sedang berperang dengan umat Islam, maka negara Khilafah boleh mengadakan perjanjian dengan negara kafir seperti ini; misalnya perjanjian dagang, perjanjian bertetangga baik, dan lain-lain. Warga negaranya diberi izin masuk ke negara Khilafah untuk berdagang, rekreasi, berobat, belajar, dan sebagainya. Jiwa dan hartanya tidak halal bagi umat Islam. Namun, jika warga negara tersebut masuk secara liar, yaltu tanpa izin negara Khilafah, maka hukumnya sama dengan warga negara yang sedang berperang dengan umat Islam, yakni jiwa dan hartanya halal (An-Nabhani, 1990: 293). Jika warga negara tersebut masuk dengan izin negara, dia tidak boleh tinggal di negara Khilafah kecuali dalam jangka waktu tertentu, yaitu di bawah satu tahun (An-Nabhani, 1994: 233).
Musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman), baik Muslim atau kafir harbi (An-Nabhani, 1990: 294; 1994: 234). Jika seorang Muslim masuk ke Darul Harb/Darul Kufur*, dia tidak boleh mengambil harta kaum kafir dalam Darul Harb tersebut, misalnya dengan mencuri (as-sariqah) atau merampas (al-ghashab). Sebab, seorang Muslim terikat dengan perjanjian yang Ia lakukan (al Muslim ‘indac syurutihim).
Sebagaimana seorang Muslim boleh masuk ke Darul Harb, seorang kafir harbi juga boteh masuk ke datam Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. telah memberikan jaminan keamanan kepada kaum kafir pada saat Fath Makkah. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya, “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka berarti dia aman.” (HR Muslim).
Namun demikian, jika musta’min itu seorang kafir harbi yang masuk ke negeri Islam, dia tidak boleh tinggal di sana selama satu tahun. Jadi, izin masuk (al-aman) hanya diberikan— misalnya—untuk satu bulan, dua bulan, atau lebih di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam** tanpa ditarik jizyah. PadahaL, jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan: akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl adz-dzimah atau warga negara Khilafah. Jika dia keluar menjelang akhir tahun, dia tidak wajib membayar jizyah.
Hukum orang musta’min pada dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia membutuhkan pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan kejahatan, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah, kecuali sanksi peminum khamr. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap orang islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min (An-Nabhani,1994:235)
Ahl adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah (Daulah Islamiyah). Islam telah menjelaskan banyak hukum tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.
Di antara hukum-hukum tersebut adalah:
1. Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.
2. AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada negara. Jizyah dipungut dan ahl dzimmah yang laki-laki, balig, dan mampu; tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu. Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mengirim surat kepada para amir al-Ajnad bahwa jizyah tidak diwajibkan atas perempuan, anak-anak, dan orang yang belum balig. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyl ‘an yadin yang bermakna ‘an qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu mereka. Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
3. Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah Swt. Berfirman:
Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. (QS Al-Maidah [5]:5)

Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat RasuL saw. yang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”

Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram, baik laki-Laki itu Ahlul Kitab atau bukan. Allah Swt. berfirman:
Jika kamu telahmengetahui bahwa mereka adalah (benar-benar) wanita-wanita Mukmin, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Tidaklah mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
4. Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa (ijarah), syrkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. Telah melakukan muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaybar, di mana kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil panen kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan; tidak boleh selain hukum-hukum Islam (an-Nabhani, 1994:237-240)
Demikianlah sekilas hukum-hukum ahl adz-dzimmah yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Mereka mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim. Wallahu a ‘lam bi ash-shawâb.
Sumber Asli: http://wisnusudibjo.wordpress.com


Baca Selengkapnya Di: http://www.muslimsays.com/2013/05/perbedaan-antara-kafir-harbi-dan-dzimmi-serta-hukum-keduanya.html#ixzz2jvZrkTZc



Munarman: Kafir yang menghalangi dakwah adalah kafir harbi, halal darahnya! - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/02/11/17991-munarman-kafir-yang-menghalangi-dakwah-adalah-kafir-harbi-halal-darahnya.html#sthash.0IJPrcmk.dpuf

JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua bidang Nahi Munkar DPP FPI Munarman mengatakan kelompok masyarakat yang melakukan penghadangan terhadap rombongan Habib Riziq dalam rangka dakwah Islamiyah di Kalimantan Tengah merupakan kafir harbi.

“Mereka yang menghalangi dakwah adalah kafir harbi, halal darahnya,” lontar Munarman saat dihubungi oleh arrahmah.com.

Lebih dari itu, Munarman menuntut pertanggungjawaban Gubernur Kalimantan Tengah yang ditengarai berada di belakang aksi tersebut.

“Teras Narang harus bertanggungjawab, sebab yang melakukan penghadangan orang-orangnya dia,” bebernya.

Dia berpendapat, Gubernur Kalimantan Tengah yang memimpin aksi tersebut.

“Teras Narang pemimpin kafir harbinya,” tandas Munarman.

Seperti diketahui, setelah  melakukan unjuk rasa di luar Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, ratusan gerombolan kafir pimpinan Yansen Binti yang merupakan operator gubenur Kal-Teng Teras Narang, Sabtu (11/2/2012) menyerbu ke apron bandara tersebut.

Mereka menyerbu setelah sebuah pesawat yang diduga berpenumpang Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq, mendarat di bandara terbesar di Kalteng itu. Ratusan gerombolan kafir pimpinan Yansen Binti Kalteng ini, sebelum pesawat Sriwijaya Air landing pun sudah tidak sabar menolak pemimpin FPI tersebut, dari Palangkaraya.

Aparat kepolisian yang datang untuk mengamankan pun kalah banyak dengan massa yang mengadang pemimpin FPI tersebut. Sempat terjadi negosiasi antara aparat kepolisian dan koordinator massa gerombolan kafir pimpinan Yansen Binti, sehingga akhirnya rombongan FPI pusat pun batal turun dari pesawat. (bilal/arrahmah.com)

- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/02/11/17991-munarman-kafir-yang-menghalangi-dakwah-adalah-kafir-harbi-halal-darahnya.html#sthash.0IJPrcmk.dpuf




http://refrensi-ilmu.blogspot.com/2010/05/kafir-harbi-dan-kafir-zimmi.html
MINGGU, 09 MEI 2010
Kafir Harbi dan Kafir Zimmi

Dalam pandangan syariat Islam, non muslim itu bisa diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu Kafir Harbi (ahlul harb) dan Kafir Zimmi (ahlu zimmah).

1. Kafir Harbi

Adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran berdarah dengan muslimin.

Darah mereka halal untuk ditumpahkan sebagaimana mereka pun punya hak untuk membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul harb dengan muslimin memang hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah konflik.

2. Kafir Zimmy atau Ahlu Zimmah.

Kata "Zimmi" berasal dari kata "Zimmah", yang bermakna aman atau janji.

Ahlu zimmah berarti orang kafir yang mendapatkan keamanan dari pihak muslim. Juga dipahami sebagai orang yang telah mendapatkan janji dari umat Islam atas keamanan dirinya.

Dengan demikian, haram hukumnya bagi muslimin untuk mengganggu kafir zimmi, menyakiti, menzalimi atau mengurangi hak-haknya. Apalagi sampai membunuh mereka. Tentu sebuah perbuatan yang telah diharamkan secara mutlak dalam syariat Islam.

Dekat sekali dengan pengertian ahlu zimmah adalah ahlul-aman. Mereka adalah orang kafir yang mendapatkan perlindungan sementara dari umat Islam. Misalnya, mereka berasal dari kalangan kafir harbi, namun meminta izin untuk sementara waktu datang kepada umat Islam.

Bedanya dengan ahlu zimmah adalah keamaan yang dijaminkan kepada mereka bersifat sementara dan dalam waktu tertentu saja.

Di antara contohnya adalah juru runding dari pihak kafir harbi yang datang ke wilayah muslimin, di mana mereka akan mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, selama menjadi tamu di kalangan muslimin.


Hak-hak Ahli Zimmah


Di antara hak-hak yang harus didapat oleh ahli zimmah dari umat Islam adalah hal-hal berikut ini:

1. Hak untuk mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk secara resmi di dalam wilayah hukum Islam.

Di masa lalu seorang ahlu zimmah berhak untuk tetap bertahan di atas tanah yang menjadi miliknya yang sah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengusirnya dari tanahnya itu.

Bahkan setingkat gubernur Mesir pun tidak punya hak. Padahal saat itu Gubernur Amr bin Al-Ash sedang melakukan proyek renovasi masjid, lantaran daya tampungnya yang semakin dibutuhkan. Kebetulan, proyek perluasan masjid itu harus mengenai lahan millik seorang ahli zimmah, maka gubernur menyediakan uang pengganti atas tanahnya. Namun di ahli zimmah bertahan dan tidak mau pindah.

Akhirnya, dengan kekuasaan sebagai pemerintah, rumahnya digusur dan uangnya diberikan.

Ahli zimmah ini kemudian melapor kepada Khalifah Umar ra, atasan langsung gubernur Amar bin Al-Ash. Segera saja Umar ra. memarahi bawahannya dan memerintahkannya untuk mengembalikan rumah dan tanah miliknya. Sebab hak-hak para ahli zimmah memang dijamin oleh umat Islam.

2. Jaminan keamananan atas nyawa mereka dan keluarga, baik dari ancaman orang Islam atau dari ancaman sesama orang kafir.

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menzalimi seorang mu'ahid (ahlu zimmah), atau mengurangi haknya, atau membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu di luar haknya, maka aku menjadi lawannya di hari kiamat." (HR Abu Daud)

3. Jaminan keamanan atas harta benda yang dimilikinya.

Pernah suatu ketika panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah mengembalikan uang pajak kepada para ahli zimmah. Hal itu dilakukan lantaran negara merasa tidak mampu melindungi mereka dari serbuan tentara kafir dari negeri lain. Pengembalian pajak kepada rakyat ahli zimmah ini adalah sebuah catatan sejarah yang pertama kali. Sedemikian besar tanggung jawab pemerintah Islam dalam menjamin harta benda ahli zimmah, sehingga ketika negara tidak mampu memberikan kewajibannya, uang mereka pun dikembalikan.

4. Jaminan untuk melaksanakan agamanya di dalam wilayah negeri muslim.

Konsekuensi yang harus dijalankan muslimin dengan ahlu zimmah adalah memberikan kepada mereka jaminan untuk bebas melakukan kegiatan agamanya, sesuai dengan keyakinannya.

Dilarang buat muslimin untuk memaksa, menyudutkan atau memerintahkan mereka masuk Islam, kecuali bila atas kesadaran mereka sendiri. Sebab Allah SWT telah mengharamkan pemaksaan untuk masuk agama Islam buat ahli zimmah.

2 Al-Baqarah 256
" Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang kepada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui".

Menarik untuk diperhatikan tentang kenyataan sejarah, yaitu tatkala pasukan muslimin mengalahkan negeri kafir dan masuk ke dalamnya, nyaris semua gereja, biara dan tempat ibadah milik penduduknya dibiarkan kokoh berdiri. Tidak ada satu pun yang dirusak apalagi dirobohkan. Bahkan hingga hari ini, di Mesir, Syiria dan negeri muslim lainnya, rumah-rumah ibadah itu masih tetap ada.

Bahkan bila ajaran agama mereka membolehkan minum khamar, tidak hak bagi muslimin untuk melarang mereka melakukannya. Atau makan daging babi, atau makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Asalkan dengan syarat tidak dilakukan terang-terangan di hadapan umat Islam.

Berikut adalah sebuah petikan perjanjian yang ditulis para ahli zimmah terhadap pemerintah muslim, "Kami (ahli zimmah) tidak membunyikan lonceng kecuali dengan perlahan di dalam gereja, tidak menonjol-nonjolkan salib, tidak meninggikan suara kita saat sembahyang di dalam gereja, tidak memajang salib dan Al-Kitab di tengah komunitas muslim."

5. Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Islam tidak mengharamkan umatnya bermuamalat dengan orang non muslim. Bahkan Rasulullah SAW masih saja menggadaikan pakaian perangnya kepada seorang Yahudi serta berjual beli dengan mereka. Demikian juga dengan para shahabat, mereka aktif di pasar bersama-sama dengan non muslim dalam mencari rezeki.

6. Jaminan atas keamanan kehormatan dan harga diri mereka, baik yang terkait dengan nama baik, nasab, susila dan lainnya.

7. Jaminan dari berbagai macam ganggungan lainnya, baik yang berasal dari umat Islam atau pun dari orang kafir lainnya.


Sumber : http://www.eramuslim.com/ks/us/5b/21942,1,v.html.■


Hukum Wanita Haid Masuk Masjid

Bagaimana hukum wanita haid masuk masjid..?! Ada perbedaaan pendapat/ khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada yang membolehkan dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang, mari kita kupas bersama2 melalui dalil2 yg ada dan mari kita kaji dgn seksama perbedaan pendapat tersebut..



Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal wanita haid masuk masjid tersebut. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :



1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan Hanafi. Mereka mutlak melarang dalam apapun.



2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat. Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermadzhab Syafi’i dan ulama dari madzhab Hambali. Pendapatanya adalah melarang jika wanita tersebut menetap/berdiam di masjid, kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalm masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.



3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak tanpa syarat apapun bagi wanita haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid.



Sekarang, mari kita kupas dalil2 yang ada sehubungan dengan pendapat2 tersebut, agar kita bisa memilah dan memilih pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran.



I. Pendapat ulama yang melarang secara mutlak :



“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)


Hadits tersebut ternyata hadits dhaif karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama di antara Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Hadits ini batil.” dan juga telah di dhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm Irwa‘ul Ghalil no. 124 Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi Dawud.



“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)


Dalil tersebut digunakan untuk shalat ‘ied di lapangan, dan bukan untuk di masjid. Rasulullah SAW menyebut kata “mushalla” biasanya adalah untuk tempat2 shalat sunnah, seperti di lapangan untuk shalat ‘ied atau tempat shalat di rumah2 kita.. Dan beliau SAW menyebut masjid untuk tempat2 shalat wajib. Jadi, dalil ini pun kurang tepat jika dijadikan dalil untuk melarang wanita ke masjid.



II. Pendapat Ulama yang membolehkan dengan syarat :

1.      Firman Allah Ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)



Kata “shalat” di artikan tempat shalat.. Tetapi dalam ayat trersebut tidak menyebutkan wanita haid. Wanita haid dalam ayat tersebut diqiyaskan dengan kata junub. Sehingga ulama dari kalangan ini membolehkan dengan syarat hanya sekedar lewat atau mengambil sesuatu di dalam masjid dengan dikuatkan oleh dalil



Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).


Ada tambahan dari ulama kalangan madzhab Hambali, bahwa boleh menetap di masjid selama orang yang berhadats besar tersebut dalam keadaan wudhu. Sesuai dengan dalil yang ada dari Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan).

Akan tetapi untuk wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.





III. Pendapat ulama yang membolehkan secara mutlak :



Beberapa ulama yang membolehkan secara mutlak adalah Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir, Al Muzanny dsb. Mereka berpendapat, bahwa tidak ada satupun dalil sahahih yang melarang wanita haid berada di dalam masjid. Sedangkan dalil yang membolehkan wanita haid berada di dalam masjid justru ada dan tergolong hadits shahih. Adapaun dalil2 yang digunakan adalah sebagai berikut :



Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.


2.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).



3.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)





Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).


Hadits tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Aisyah harus segera keluar dari masjid atau boleh masuk masjid tapi sekedar mengambil al-Humrah saja. Beliau SAW hanya menerangkan haid tidak di tanganmu, sehingga selama aman dan tidak akan mengotori masjid, maka diperbolehkan wanita untuk berada di dalam masjid tanpa batas waktu dan syarat2 tertentu.



Ayat QS 4;43 ttg “(jangan pula hampiri tempat shalat) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,..” berasal dari kata “.. walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..”.
Ada perbedaan penafsiran dlm hal ini, krn kata jangan menghampiri tempat shalat tidak ada dlm teks asli Al Quran. Perbedaan pendapat tersebut berada pada kata “..’aabiriy sabiyl..”. Ada yang menafsirkan sekedar lewat, ada pula yg menafsirkan musafir.



Maka dlm kitab ibnu Hazm (al-Muhallaa, 2/174-175) bahwa seharusnya penafsiran dari kata walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..” yang dimaksud adalah “ wa laa (dan jangan/tidak “shalat”) junuban (orang yg junub)..” bukan “mendekati tempat shalat”.



Selain itu, jika benar diterjemahkan tempat shalat, maka, lapangan bisa jadi tempat shalat (sesuai hadits tentang shalat ‘ied), atau rumah2 kita juga bisa jadi tempat shalat. Bumi ini adalah tempat shalat, sesuai hadits Rasulullah SAW  “Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat bersuci dan masjid (tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang waktu shalat agar shalat di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no. 489)

Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)



Berkata al-Imam an-Nawawiy : Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidakmendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya. Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud ‘aabiriy sabiyl” ialah sekedar berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas.



Sehingga menurut pendapat kelompok ini, tidak ada satupun dalil yang shahih dan pasti yang melarang wanita haid berada di dalam masjid dengan alasan dan keadaan apapun.





Demikian telah diterangkan panjang lebar mengenai wanita haid beserta dalil2 yang ada. Silahkan ambil salah satunya yang anda anggap paling kuat landasan hokum dan dalil2nya. Kebenaran mutlak adalah milik Allah, akan tetapi Allah telah memberikan kita alat agar kita bisa memilah dan memilih sebuah kebenaran.



Wallahu a’lam….





Non Muslim Masuk Masjid

Ditulis oleh Dewan Asatidz
Tanya:

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya ingin menanyakan bolehkah non muslim masuk masjid beserta dalil dan contohnya dari Rasulullah. Terima kasih banyak sebelumnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Airlanda Winarno - Jakarta

Jawab:

Bu Airlanda, non muslim boleh saja masuk masjid asal ada keperluan yang jelas dan tidak melakukan suatu keharaman, seperti mengotori masjid atau lainnya.

Misalnya, ia mau meneliti sesuatu hal di dalam masjid, atau sekedar hendak melihat-lihat. Ini sering terjadi di masjid-masjid bersejarah. Seperti yg saya lihat sendiri di masjid Al-Azhar Mesir, dan masjid-masjid bersejarah lainnya.

Sebagaimana kita, kaum muslim, boleh-boleh saja masuk gereja. Tentu dengan tujuan yang jelas pula. Masak kita masuk ke gereja mau ikut peribadatan. 'Kan tidak.

Terbukti dalam sejarah, Masjid Nabawi (di Madinah) menjadi tempat acara perjanjian Hudaibiyah. Di situ kumpul berbagai kelompok. Salah satu kelompok non Islam adalah Abu Sofyan yang ikut masuk ke masjid. Nabi saw juga pernah menginapkan delegasi -non muslim- dari Thaif di dalam masjid.

Adapun ayat 28 surat At-Taubat ("Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."), menurut para ahli tafsir, merupakan larangan bagi orang musyrik melakukan thawaf di Masjidil Haram.

Para ulama dulu juga berbeda pendapat dalam hal ini:

1. Abu Hanifah (imam madzhab Hanafiyah), memperbolehkan non muslim masuk masjid (mana saja), termasuk Masjidil Haram.

2. Malikiyah tidak memperbolehkan, kecuali ada keperluan penting seperti persidangan yang dilakukan atas dirinya di dalam masjid. Ketentuan ini berlaku untuk semua masjid tanpa kecuali.

3. Syafi'iyah membolehkan, asal ada keperluan, dengan mengecualikan Masjidil Haram. Demikian, Wallahua'lam bisshawaab.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Arif Hidayat


Bolehnya Wanita Haid Masuk Masjid

http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/3794-bolehnya-wanita-haid-masuk-masjid.html

Wanita haid juga butuh akan ibadah. Begitu pula ia butuh akan ilmu. Bagaimanakah jika ia mengalami haid sedangkan butuh akan siraman rohani atau pelajaran ilmu syar’i yang Cuma ditemukan di masjid? Apakah ia boleh memasuki masjid dalam keadaan haid?
Syaikh Kholid Mushlih –hafizhohullah- ditanya, “Apakah boleh wanita haid menghadiri majelis Al Qur’an (di masjid)?”

Jawab beliau, “Wanita haidh boleh saja masuk masjid jika ada hajat, inilah pendapat yang lebih tepat. Karena terdapat dalam kitab shahih (yaitu Shahih Muslim) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada ‘Aisyah, “Berikan padaku sajadah kecil di masjid.” Lalu ‘Aisyah berkata, “Saya sedang  haid.” Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu.”[1] Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi wanita haid untuk memasuki masjid jika: (1) ada hajat dan (2) tidak sampai mengotori masjid. Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.

Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan,

لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ

“Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.”[2] Ini hadits yang tidak shahih. Para ulama hadits menyatakan demikian bahwa hadits tersebut tidaklah shahih. Sehingga hadits tersebut tidak bisa jadi pendukung untuk melarang wanita haid masuk masjid.

Adapun jika ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi) yang tidak memiliki kesamaan. Karena junub boleh masuk masjid jika dia berwudhu untuk memperingan junubnya, ini yang pertama. Yang kedua, junub adalah hadats karena pilihannya yang sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats tersebut. Hal ini berbeda dengan wanita haid. Wanita yang mengalami haid bukanlah atas pilihannya sendiri. Jika wanita haid mandi sekali pun selama darahnya masih mengalir, itu tidak bisa menghentikan darah haidnya. Intinya, tidak bisa disamakan antara wanita haid dan orang yang junub sehingga qiyasnya nantinya adalah qiyas yang jelas berbeda (qiyas ma’al faariq).”

Fatwa beliau diterjemahkan dari Youtube pada link: http://www.youtube.com/watch?v=Yx-hTMp7jYc

* Syaikh Kholid Mushlih: murid senior sekaligus menantu Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin

Baca pula selengkapnya mengenai larangan bagi wanita haid di sini.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Jumadats Tsaniyah 1433 H

www.rumaysho.com


[1] Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).

[2] HR. Abu Daud no. 232. Hadits ini dikatakan dho’if oleh Syaikh Al Albani.