Senin, 08 Juni 2015

Pengertian, Rukun, Syarat dan Macam Jual Beli dalam Islam


Zaman semakin berkembang, teknologi pun semakin maju dan banyak produk-produk yang dihasilkan dari teknologi yang membantu pekerjaan manusia, akan tetapi hal itu juga menjadi pro dan kontra. Diantaranya dalam transaksi jual-beli yang dilaksanakan oleh manusia.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya jual beli di dunia maya, contoh jual beli lewat internet, online dan lain-lain. Jual beli barang najis seperti anjing, babi, dan sebagainya. Dalam Islam segala sesuatunya telah diatur dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitu juga dalam Al-Qur'an dan as-sunnah dan dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.


A. Pengertian Jual-Beli

Secara bahasa al-ba’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”. Dan merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikian al-ba’ sering diterjemahkan dengan “jual-beli”.

Menurut etimologi jual-beli diartikan

مقابلة الشيئ بالشيئ.

“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”.

Menurut terminologi, para fuqaha menyampaikan pendapatnya berbeda-beda: Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’

مقاباة بال بمال تمليكا.

“Pertukaran harta dengan harta untuk tujuan kepemilikan”.

Ibn Qudamah menyampaikan sebagai berikut: “Mempertukarkan harta dengan harta denga tujuan pemilikan dan penyerahan milik”.

Landasan syara’

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة: 275)

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)

سئل النبى صلى الله عليه وسلم: اي الكسب أطيب ؟ فقد عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور

B. Rukun Jual-Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli diantara para ulama terjadi perbedaan. Menurut Ulama Hanafiah, rukun jual beli adalah ijab Qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha baik ucapan maupun perbuatan.

Menurut Jumhur Ulama ada empat rukun jual beli, yaitu:
1) Pihak penjual (Ba’i)
2) Pihak pembeli (mustari)
3) Ijab Qabul (Sighat)
4) Obyek jual beli (Ma’qus alaih)

C. Syarat Jual-Beli

1. Syarat jual beli menurut madzhab Hanafiyah
Dalam akad jual beli harus disempurnakan empat (4) syarat, yaitu:
2) Syarat In’iqad (dibolehkan oleh syar’i)
3) Syarat Nafadz (harus milik pribadi sepenuhnya)
4) Syarat Umum (terbebas dari cacat)
5) Syarat Luzum (Syarat yang membebaskan dari khiyar)

2. Syarat jual beli menurut madzhab Malikiyah
Malikiyah merumuskan 3 macam syarat jual beli, yaitu:
1) Aqid
2) Sighat
3) Obyek Jual Beli

3. Syarat jual beli menurut madzhab Syafi’iyah
Syafi’iyah merumuskan dua kelompok persyaratan jual beli, yaitu:
1) Ijab Qabul
2) Obyek Jual beli.

4. Menurut Madzhab Hanabilah
Madzhab Hanabilah merumuskan tiga kategori syarat jual beli, yaitu:
1) Aqid
2) Sighat
3) Obyek Jual Beli.

Contoh-contoh kasus jual beli kaitannya dengan pemenuhan persyaratan:

1) Ba’i al-Muaththah (jual beli dengan saling memberi dan menerima)
Yakni kasus jual beli dimana dua pihak sepakat atas penukaran barang dan harga sehingga masing-masing menerima dan menyerahkan hak dan kewajiban tanpa disertai ijab dan qabul.
2) Jual beli anak kecil yang mumayyiz
3) Ba’i al-Mukrih (jual beli orang yang dipaksa)
4) Ba’i al-Taljiah
Yakni jual beli yang disamarkan atau dinisbatkan kepada pihak ketiga karena adanya kekhawatiran timbulnya penganiayaan dari pihak lain atas sebagian hartanya.
5) Ba’i al-Fudhuliy
Yakni jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kewenangan (wilayah) atasnya.

D. Obyek Jual Beli Mabi’ dan Tsaman

Hanafiyah membedakan obyek jual-beli menjadi dua, yaitu:

1) Mabi’ (barang yang dijual)
Yaitu sesuatu yang dapat dikenali (dapat dibedakan) melalui sejumlah kriteria tertentu.
2) Tsaman (harga)
Yaitu sesuatu yang tidak dapat dikenali (tidak dapat dibedakan dari lainnya) melalui kriteria tertentu.

Perbedaan antara Tsaman, Qimah dan Dain:
Tsaman adalah harga yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam sebuah akad, sedangkan Qimah adalah harga (nilai) yang berlaku secara umum. Adapun Dain adalah harga yang dibabankan kepada pihak lain karena sebab-sebab iltizam.

E. Jual Beli Bathil dan Fasid

Sah atau tidaknya akad jual beli bergantung pada pemenuhan syarat dan rukunnya. Dari sudut pandangan ini, jumhur fuqaha membagi hukum jual beli menjadi dua, yaitu shahih dan ghairu shahih. Sedangkan menurut Hanafiyah dibagi menjadi tiga, yaitu shahih, bathil, fasid.

Menurut Hanafi, jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan tidak diperkenankan oleh syara’. Sedangkan jual beli fasid adalah jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.

Contoh kasus jual beli yang fasid dan bathil.

Bai’ al-Ma’dum (jual beli atas barang yang tidak ada)
Seluruh madzhab sepakat atas batalnya jual beli ini. Seperti jual beli janin di dalam perut induknya dan jual beli buah yang belum tampak.
Bai’ al-Ma’juz al-Taslim (jual beli barang yang tidak mungkin dapat disunnahkan)
Kesepakatan seluruh imam madzhab bahwasanya jual beli seperti ini tidak sah. Contoh jual beli burung terbang di udara, budak yang melarikan diri, ikan dalam sungai dan lain-lain.
Bai’ al-Gharar
Yakni jual beli yang mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang yang diperjualbelikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya, atau tidak mungkin dapat diserahterimakan. Menurut Jumhur, jual beli fasid dipandang tidak berlaku dan sama sekali tidak menimbulkan peralihan hak milik meskipun pihak pembeli telah menguasai barang yang diperjualbelikan.

F. Pembagian Macam-macam Jual Beli

Dari aspek obyeknya, jual beli dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

Bai’ al-Muqayyadah
Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut jual beli barter.
Bai’ al-Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan harga secara mutlak.
Bai’ al-Sharf
Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
Bai’ al-Salam
Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain (tanggungan)Hal ini ditunjukkan dengan adanya jual beli di dunia maya, contoh jual beli lewat internet, online dan lain-lain. Jual beli barang najis seperti anjing, babi, dan sebagainya. Dalam Islam segala sesuatunya telah diatur dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitu juga dalam Al-Qur'an dan as-sunnah dan dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.

Sumber: dari salah satu blog di internet


Jual Beli dan Syarat-Syaratnya


Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.

Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.

Definisi Jual Beli

Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.

Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).

Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.

Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).

Dalil Disyari’atkannya Jual Beli

Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).

Dalil Al Qur’an

Allah ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).

Dalil Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)

Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.

Dalil Ijma’

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

Dalil Qiyas

Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).

Syarat-syarat Sah Jual Beli

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.

Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.

Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).

Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .

Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.

Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:

Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa': 29)
Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:

Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba

Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)

Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)

Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”

Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.

Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Print Friendly




Hukum Jual-Beli dengan Anak Kecil yang Belum Baligh
https://sujaja.wordpress.com/2012/09/05/hukum-jual-beli-dengan-anak-kecil-yang-belum-baligh/

Di halaman berbagai TK (Taman Kanak-kanak) dan SD (Sekolah Dasar), kita jumpai banyak pedagang yang menjajakan makanan ringan atau pun mainan kepada anak-anak. Padahal, anak-anak yang membelinya belum balig–alias belum berusia 15 tahun. Bahkan, banyak di antara anak-anak itu yang belum tamyiz (yaitu, mencapai usia tujuh tahun). Sahkah jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, baik yang sudah tamyiz ataukah belum? Jika tidak sah, berarti uang yang didapatkan para pedagang tersebut adalah uang haram. Mengingat begitu mendesaknya permasalahan ini, mari kita cermati dengan baik tulisan berikut ini.

Sahkah jual beli yang dilakukan anak yang sudah tamyiz tetapi belum mukallaf?

Para pakar fikih berselisih pendapat mengenai sah-tidaknya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Ada yang berpendapat, “Sah, asalkan seizin orang tuanya.” Ada yang mengatakan, “Tidak sah, baik dengan seizin orang tuanya atau pun tidak.” Ada juga yang memperbolehkan jika anak-anak berjual-beli barang yang nilainya remah, meski tanpa izin orang tuanya.

An-Nawawi Asy-Syafi’i, dalam Al-Majmu’, 9:185, menjelaskan pendapat-pendapat para ulama mengenai hal ini, “Pasal tentang pendapat para ulama mengenai transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz (baca: tujuh tahun, pent.). Telah kami sampaikan bahwa dalam mazhab kami (baca: Mazhab Syafi’i), jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz itu tidak sah, baik dengan seizin orang tuanya atau pun tidak. Ini juga pendapar Abu Tsaur.

Adapun pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah adalah bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang sudah tamyiz itu sah, asalkan dengan seizin orang tuanya.

Selain pendapat tersebut, Abu Hanifah juga memiliki pendapat kedua. Dalam pendapatnya yang kedua, Abu Hanifah memperbolehkan jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, tanpa seizin orang tuanya, namun keabsahan transaksinya tergantung izin orang tuanya.

Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuyah memperbolehkan transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, meski tanpa seizin orang tuanya, asalkan nilai barang yang dibeli itu remeh.”

Ibnu Qudamah Al-Hanbali, dalam Al-Mughni, 4:168 mengatakan, “Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah tamyiz itu sah jika seizin orang tuanya. Demikianlah salah satu pendapat Imam Ahmad, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah.

Pendapat Imam Ahmad yang kedua adalah bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak kecil itu tidak sah sampai anak tersebut balig; ini juga merupakan pendapat Syafi’i. Alasannya, anak kecil yang sudah tamyiz itu belum mukallaf, sehingga statusnya sama dengan anak kecil yang belum tamyiz. Kita juga tidak mengetahui secara pasti masa seorang anak itu memiliki akal yang menyebabkan dia layak untuk melakukan transaksi jual beli, karena kondisi akal adalah sesuatu yang tidak jelas dan tahapan pertambahan akal itu juga tidak jelas. Oleh karena itu, tolak ukur yang dipakai oleh syariat adalah usia balig. Dengan demikian, segala ketentuan yang berlaku untuk orang yang berakal itu tidak berlaku sampai seorang anak berusia balig.

Alasan kami menilai sahnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz adalah firman Allah,

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Yang artinya, ‘Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.‘ (Qs. An-Nisa`:6)

Makna ayat di atas adalah: ujilah anak-anak tersebut supaya kalian mengetahui kelayakan mereka dalam membelanjakan harta. Proses ujian hanya bisa dilakukan dengan memberikan–kepada mereka–wewenang untuk melakukan transaksi jual beli, supaya diketahui apakah anak tersebut bisa membeli barang dengan harga standard ataukah tidak.

Alasan yang lain, anak yang sudah tamyiz itu sudah memiliki akal namun tidak sesempurna akal orang dewasa, sehingga dia tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melainkan dengan izin orang tuanya, semisal budak. Oleh karenanya, tidak tepat jika menyamakan anak yang sudah tamyiz dengan anak yang belum tamyiz. Tidak ada manfaat di balik transaksi yang dilakukan oleh anak yang belum tamyiz karena dia belum memiliki pengetahuan mengenai seluk-beluk jual beli dan dia juga belum bisa mengetahui apakah harga suatu barang itu terlalu mahal ataukah tidak. Anak yang belum tamyiz tidak perlu diuji karena kondisi anak tersebut sudah jelas.

Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau dalam masalah ini mengatakan bahwa kondisi akal itu tidak bisa diketahui. Jawaban kami, kondisi akal itu bisa diketahui dengan melihat pengaruh akal dan kepandaian melakukan transaksi, sebagaimana hal ini juga berlaku untuk anak yang sudah balig.

Kepandaian melakukan transaksi adalah syarat penyerahan harta anak yatim kepada pemiliknya yang sudah balig dan juga menjadi syarat keabsahan transaksi yang dilakukan anak yatim tersebut. Ketentuan tersebut juga berlaku dalam kasus ini. Adapun transaksi yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, tanpa seizin orang tuanya, adalah transaksi yang tidak sah. Mungkin saja kita katakan sah, namun itu tergantung apakah pada akhirnya orang tua mengizinkan ataukah tidak, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

Dua syarat transaksi yang sah dilakukan oleh anak kecil

Adapun anak kecil yang belum tamyiz, transaksi jual beli yang dia lakukan itu tidak sah, meski dengan seizin orang tua, kecuali untuk barang-barang yang nilainya remeh. Diriwayatkan bahwa Abu Darda memiliki seekor burung kecil dari seorang anak kecil. Setelah dibeli, burung tersebut dilepas. Riwayat dari Abu Darda ini disebutkan oleh Ibnu Abi Musa.”

Walhasil, menurut pendapat yang paling kuat, anak kecil boleh dan sah melakukan transaksi dalam dua kondisi:
1. Transaksi jual beli barang yang nilainya murah. Transaksi ini sah meski anak tersebut belum balig. Contoh barang yang nilai murah adalah sepotong kue atau sebuah permen murahan.
2. Transaksi yang dilakukan dengan seizin orang tua.

Dalam Mathalib Ulin Nuha, sebuah buku fikih Mazhab Hanbali, 3:10 disebutkan, “Kecuali jual beli barang yang nilainya remeh, misalnya: satu potong kue, satu ikat sayuran, atau satu biji permen. Jika bukan barang yang nilainya remeh, transaksi yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz itu sah, asalkan orang tuanya mengizinkannya, mengingat firman Allah di surat An-Nisa ayat ke-6.

Haram bagi orang tua untuk memberi izin bagi anak kecil untuk melakukan transaksi, jika karena rengekan atau tangisan si anak, bukan karena pertimbangan bahwa membeli barang tersebut adalah suatu hal yang bermanfaat bagi si anak.”

Contoh barang yang nilainya remeh di atas hanyalah sekadar contoh karena tolak ukur “barang yang nilainya remeh” adalah ‘urf (kesepakatan tidak tertulis yang ada di tengah-tengah masyarakat). Dengan demikian, segala benda yang menurut konsesus masyarakat itu nilainya remeh dan wajar dibeli anak kecil maka itulah barang yang nilainya remeh yang boleh dibeli oleh anak kecil.

Disarikan dari http://islamqa.com/ar/ref/97489

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber: http://pengusahamuslim.com/jualan-di-tk-atau-sd


Bolehkah Anak Kecil Melakukan Jual Beli?
http://rumaysho.com/muamalah/bolehkah-anak-kecil-melakukan-jual-beli-6028.html

Bolehkah anak kecil melakukan jual beli? Anak yang boleh melakukan jual beli hanyalah yang sudah mencapai tamyiz, itu pun masih perlu ada rincian.

Kita tahu bersama bahwa di antara syarat jual beli mesti dilakukan oleh orang yang diizinkan oleh syari’at untuk melakukan jual beli. Siapakah orang yang diizinkan?

Ada 5 orang yang harus memenuhi syarat ini yang diizinkan untuk melakukan jual beli:

1- Baligh (dewasa)

2- Berakal

3- Merdeka, bukan budak

4- Ar rusydu, yaitu bisa membelanjakan harta dengan baik[1]

5- Orang yang memiliki atau mendapatkan izin dari si pemilik

Salah satu syarat di atas disebutkan baligh. Apa berarti anak kecil tidak boleh melakukan jual beli?

Perlu diketahui bahwa anak kecil tidak lepas dari dua keadaan:

1- Belum tamyiz

Anak yang belum tamyiz jika melakukan akad jual beli, tidaklah sah.

Kapan usia tamyiz? Para ulama berkata bahwa usia tamyiz yaitu saat seorang anak sudah mengenal mana bahaya dan mana yang manfaat. Karena kata tamyiz berarti bisa membedakan mana yang baik dan buruk setelah mengenalnya.[2] Yang jadi standar seseorang dibebani syari’at (beban takflif) jika sudah mencapai baligh, patokannya bukanlah telah mencapai tamyiz. Seorang anak yang masih tamyiz (tetapi belum baligh) jika meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu keharaman, tidaklah mendapatkan hukuman karena pena catatan amal terangkat dari dirinya.[3]

2- Anak yang sudah tamyiz

Ada beberapa rincian dalam hal ini:

a- Jika akad yang dilakukan adalah akan yang murni manfaat seperti menerima hibah, wakaf, dan wasiat, maka sah akad anak tersebut tanpa mesti izin pada wali atau orang tuanya. Begitu pula sah melakukan akad yang secara ‘urf sepele atau sedikit.

b- Jika akad yang dilakukan murni mengandung mudhorot (bahaya), maka tidak sah akad tersebut walaupun diizinkan oleh wali.

c- Jika masih samar akad tersebut, ada manfaat ataukah bahaya, maka harus dengan izin wali.[4]

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Insya Allah akan dilanjutkan dengan bahasan fikih muamalah lainnya.

Hanya Allah yang memberi hidayah dan taufik.


Referensi:

Al Mukhtashor fil Mu’amalat, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali bin Muhammad Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan tahun 1431 H.

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islamiyyah Kuwait.

Diselesaikan 02: 13 PM, 21 Rabi’ul Awwal 1435 H di Warak, Girisekar, Panggang, GK

Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumay

Sumber: dari google search atau bukan tulisan penulis ini hanya copy paste